Bina Sastra Indonesia: Mencermati Gaya Bahasa Nh Dini

Pada 4 Desember lalu Indonesia kehilangan salah satu novelis pentingnya, yakni Nh Dini (1936-2018), dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalan tol Semarang. Genaplah apa yang dituliskan Nh Dini dalam buku terakhirnya, Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya (2018: 9), “Tuhan sungguh Maha Kuasa, bisa memindahkan ke alam baka siapa pun, kapan pun, dengan cara apa pun yang Dia kehendaki”.

Perhatikanlah berbagai kumpulan cerpennya, antara lain Dua Dunia (cetakan pertama 1956; edisi Grasindo 2003), Hati yang Damai (cetakan pertama 1960; edisi Grasindo 1998), dan novel monumentalnya, Pada Sebuah Kapal (cetakan pertama 1973; edisi Gramedia 1985).

Tiap pengarang tentulah mempunyai gaya tersendiri, tidak terkecuali Nh Dini. Pada dasarnya gaya pengarang itu tecermin pada kata dan kalimat yang digunakan sang pengarang. Ada pengarang yang keberatan kata dan kalimatnya disunting (diubah) oleh penerbit (editor), tetapi kadang-kadang pengarang pun setuju dengan saran penerbit/editor. Lazimnya Nh Dini menyertakan lembar koreksian bila naskahnya dipindahkan dari satu penerbit (penerbit lama) ke penerbit lain (penerbit baru). Di samping perbaikan salah cetak, lembar koreksian juga memuat pergantian kata-kata yang kurang pas.

Tidak selamanya Nh Dini sejalan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buktinya, Dini memakai kata filem (bukan film), ibukota (bukan Ibu Kota), kokoh (bukan kukuh), dan moderen (bukan modern ). Di pihak lain, Dini tetap mempertahankan kata merobah, dirobah, berobah, perobahan dalam naskah/buku-bukunya. “Kata Jawa obah = bergerak; owah = ganti. Lebih-lebih jangan sampai diganti dengan mengubah,” tulis Dini dalam sepucuk surat kepada saya. Itulah sebabnya kata merobah, dirobah, berobah, dan perobahan kita jumpai dalam buku-buku Dini.

Dini pun keberatan kata kakus dalam naskahnya diubah menjadi toilet agar terkesan lebih keren atau modern. Dalam buku Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Dini menggunakan tiga varian kata: kue, kueh, dan kuih. Celakalah penyunting naskah di penerbit bila menganggap ketiga kata itu sama saja atau menganggap hanya kata kue yang benar.

Memang ada kesan bahwa Nh Dini sering ngotot dengan teks yang dia tulis. Apa yang tertulis, itulah mestinya yang tercetak dalam buku. Dalam satu surat, Dini memberi alasan mengenai sikapnya itu. Tulisnya, “Tapi saya yang berpengalaman 50 tahun dalam penulisan dan memilih setiap kata tidak asal-asalan. Kalau melihat karangan saya yang asli, tulisan tangan, banyak corat-coretnya sering diganti untuk mendapatkan kata dan kalimat yang pas”.

Namun, tidak selamanya Nh Dini ingin menang sendiri. Dengan syarat dikonsultasikan sebelumnya, tak jarang Dini pun setuju dengan saran penerbit/editor. Itulah sebabnya, Dini oke saja kata menterjemahkan, penterjemah, isteri, dan sekedarnya diubah menjadi menerjemahkan, penerjemah, istri, dan sekadarnya (kata dasar: kadar).

Dini juga tak keberatan kata ijin, rejeki, jaman, dan trampil diubah menjadi izin, rezeki, zaman, dan terampil dalam naskahnya. Bahkan, untuk judul kumpulan cerpennya pun Dini rela mengalah. Ada tiga kumpulan cerpen Dini yang berganti judul: Tuileries menjadi Pencakar Langit (2003), Segi dan Garis menjadi Janda Muda (2003), dan Pulau menjadi Monumen (2003). Perubahan judul ini bisa terjadi setelah dibicarakan dengan Nh Dini.

“Ibunda” Dua Dunia, Hati yang Damai, Pada Sebuah Kapal–dan puluhan buku lain–ini telah mendahului kita. Pada bab terakhir buku Gunung Ungaran (2018: 405), Nh. Dini melukiskan tokoh Aku (baca: Dini) yang senewen karena pesawat yang membawanya dari Denpasar belum mendarat-darat juga di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Pikiran negatif pun berkelebatan di kepala si Aku.

“Mungkin sudah cukup bagi Yang Maha Kuasa memberiku karunia, sehingga tibalah waktu akan memanggilku. Barangkali aku sudah terlalu dimanjakan nasib, maka sekarang datang akhir masa jelajahku di alam fana ini”, tulis Nh Dini.

 

Referensi: Pamusuk Eneste.  Kompas Cetak. 26 Januari 2019