Pembelajaran Kontekstual Tematik Situs Sangiran dan Kraton Solo

TEMA PEMBELAJARAN: Memahami dan Mencoba Menggagas Kontribusi Generasi Muda pada Upaya Pelestarian dan Pendayagunaan Situs Purbakala Sangiran dan Kraton Surakarta pada Era Indonesia Moderen

LAPORAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN:

Kamis, 22 Desember 2016, sebanyak 59 siswa kelas XI SMA Negeri 1 Lendah,  yang dibimbing oleh 8 Guru dan Karyawan, berangkat  melaksanakan kegiatan pembelajaran yang dikemas dengan Metode Pembelajaran Kontekstual. Adapun objek pembelajaran mereka adalah (1) Situs dan Museum Purbakala Sangiran, Kabupaten Sragen, (2) Kraton Surakarta Pakubuwanan dan Mangkunegaran, dan (3) Pusat Grosir Solo, di Surakarta, Provinsi Jawa tengah.

Kegiatan itu dimulai tepat pukul 7 pagi. Dengan mengendari dua buah Bus Pariwisata, mereka berangkat dari kampus SMA Negeri 1 Lendah menuju objek-objek pembelajaran. Sebelum berangkat, Bapak Ibu Pembimbing memberikan pengarahan mengenai tata tertib, jadwal atau agenda kegiatan, lengkap dengan perincian waktu, tempat-tempat yang akan dikunjungi beserta pembagian kelompok sekaligus koordinator atau pemimpin kelompok mereka.

Laporan Singkat Objek Pembelajaran Situs dan Museum Sangiran

Ketika tiba di objek pertama, waktu sudah beranjak menuju tengah hari. Semua siswa dan Pembimbing tidak melupakan sholat yang bdikerjakan secara berjamaah, yakni sholat Dluhur dan Ashar yang di-jamak sekaligus di-qoshor. Butir-butir ini merupakan penerapan Metode Pembelajaran Kontekstual mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Adapuni siswa dan pembimbing yang beragama Katolik dan Kristen, mereka melaksanakan doa dan peribadatan juga sesuai agama Katolik dan Protestan. Lihatlah, proses pembelajaran ini sekaligus merupakan praktik penumbuhan karakter disiplin dan pembudayaan kebiasaan tegas dalam menunaikan kewajiban.

Usai ishoma (istirahat, sholat dan makan siang), mereka mulai menekuni pembelajaran dengan bahan ajar Situs dan Monumen Sangiran. Konteks pembelajaran yang berkaitan dengan objek ini adalah Mata Pelajaran Sejarah, Geografi, Sosiologi, Bahasa, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan juga Matematika.

Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Menurut laporan UNESCO (1995), Sangiran diakui oleh para ilmuwan untuk menjadi salah satu situs yang paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (China), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan), dan lebih baik dalam penemuan daripada yang lain.

Luas Situs Sangiran sekitar 56 km² (7km x 8 km). Lokasinya terletak di  Provionsi Jawa Tengah, atau tepatnya sekitar 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo.

Secara administratif, kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten: Kabupaten Sragen (Kecamatan Gemolong, Kecamatan Kalijambe, dan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo). Fitur penting dari situs ini adalah geologi daerah. Awalnya kubah terbentuk jutaan tahun yang lalu melalui kenaikan tektonik. Kubah itu kemudian terkikis yang mengekspos isi dalam kubah yang kaya akan catatan arkeologi.

Sejarah Eksplorasi Situs Sangiran.

  • Tahun 1883: Situs sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C Schemulling. Ketika aktif melakukan eksplorasi pada akhir abad ke-19, Eugene Dubois pernah melakukan penelitian di sini, namun tidak terlalu intensif karena kemudian ia memusatkan aktivitas di kawasan Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur
  • 1934: Ahli antropologi Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran. Dengan dibantu tokoh setempat, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil H. erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya. Selain manusia purba, ditemukan pula berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah moderen).
  • 1977: Pemerintah Indonesia dmenetapkan daerah seluas 56 km2 di sekitar Sangiran sebagai Daerah Cagar Budaya.
  • 1988: Sebuah situs museum dan konservasi laboratorium lokal sederhana didirikan di Sangiran.
  • 1996: UNESCO mendaftarkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia di Daftar Warisan Dunia sebagai Sangiran Early Man Site.
  • 2011: Museum saat ini dan pusat pengunjung dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 15 Desember.
  • 2012: Presiden mengunjungi museum pada bulan Februari didampingi 11 menteri kabinet.

Seiring waktu, setelah pekerjaan awal oleh Dubois dan von Koenigswald di Sangiran, sarjana lain termasuk arkeolog Indonesia melakukan pekerjaan di lokasi tersebut. Sarjana Indonesia termasuk Teuku Jacob, Etty Indriati, Sartono, Fachroel Aziz, Harry Widianto, Yahdi Zaim, dan Johan Arif.

Museum Purbakala Sangiran

Penggalian oleh tim von Koenigswald yang berakhir 1941 dan koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich.

Museum Purbakala Sangiran yang sederhana sebenarnya sudah ada selama beberapa dekade sebelum dimodernisasikan seperti sekarang ini. Museum Purbakala Sangiran moderen sudah berfungsi dengan baik pada sejak Desember 2011. Gedung baru museum modern tersebut berisi tiga ruang utama dengan menampilkan diorama yang sangat mengesankan, yang menggambarkan Daerah Sangiran yang diyakini seperti 1 juta tahun yang lalu. Beberapa fasilitas lainnya terus dikonstruksi sejak awal 2013, hingga pada 2014 sudah terbangun empat pusat tempat yang berbeda, dengan fungsi yang berbeda, namun masih satu kesatuan  dengan situs Sangiran, yakni

  • Krikilan: situs sebagai pusat pengunjung utama dan museum.
  • Ngebung: situs berisi informasi sejarah penemuan situs Sangiran.
  • Bukuran: situs yang berisi informasi tentang penemuan fosil manusia prasejarah di Sangiran.
  • Dayu: untuk menyajikan informasi tentang penelitian terbaru yang berkaitan dengan Sangiran sebagai Situs dan Museum Purbakala..

Begitu pengunjung memasuki museum Sangiran akan berjumpa dengan diorama yang memberikan informasi tentang manusia purba dan hewan yang ada di situs Sangiran sekitar 1 juta tahun yang lalu. Ruang kedua, yang lebih luas, menyajikan banyak bahan rinci tentang berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran dan tentang sejarah eksplorasi di situs. Ruang ketiga, dalam presentasi yang mengesankan terpisah, berisi diorama besar yang memberikan pandangan seluruh wilayah keseluruhan Sangiran, dengan gunung berapi seperti Gunung Lawu di latar belakang dan manusia dan hewan di latar depan, seperti yang dibayangkan sekitar 1 juta tahun yang lalu. Beberapa presentasi di aula ketiga ini menarik pada karya pematung paleontologis internasional Elisabeth Daynes.

Isu-Isu Sosial

Pengembangan Situs Sangiran secara keseluruhan bukan tanpa kontroversi. Penggalian yang tidak terkontrol dan perdagangan fosil ilegal telah terjadi di berbagai kesempatan sejak situs ini pertama kali ditemukan. Dalam beberapa periode, penduduk desa warga di daerah yang sering menggali dan menjual kepada pembeli fosil lokal. Setelah diberlakukannya UU Nasional Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya, ada kontrol yang kuat pada kegiatan ini. Namun, kegiatan ilegal kadang-kadang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010, misalnya, warga negara Amerika yang mengaku sebagai seorang ilmuwan ditangkap di dekat Sangiran saat bepergian dengan truk yang berisi 43 jenis fosil dalam kotak dan karung dengan nilai pasar sekitar $ 2 juta.

Baru-baru ini, ada semaca diskusi yang cukup intens di berbagai media massa Indonesia tentang cara pengembangan situs Sangiran, agar tidak mengalami kegagalan dan dapat dipacu agar banyak membawa manfaat yang nyata serta signifikan, di samping pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan bangsa, juga de facto  dapat meningkatkan mutu ekonomi masyarakat pedesaan di daerah setempat.

Laporan Singkat Objek Pembelajaran Kraton Pakubuwanan dan Mangkunegaran

 Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Nagari Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap “tercemar”. Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa keping emas[1] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.

Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).

Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.

Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.

Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.

Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung. Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.

Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang (“Taman Satwataru”) Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945 – 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.

Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi.

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.

Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.

Era Indonesia

Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan. Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangku Negara yang baru. Namun rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.

Sepeninggal Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; dua-duanya mengklaim pemangku tahta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar SISKS Pakubuwana XIII.

Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung).

Kegiatan Akhir Hari Pembelajaran Kontekstual

Setelah objek pembelajaran Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran beserta sejarahnya dikuasai oleh siswa, tibalah saatnya Pembimbing mengarahkan ke objek pembelajaran tambahan, yakni Pusat Grosir Solo (PGS). Siswa sebagai pembelajar mata pelajaran Ekonomi, Akuntansi, Matematika, Sosiologi dan Geografi ditugaskan mengamati perilaku penjual dan konseumen yang berjubel di PGS. Mereka diminta menganalisis sesuai dengan kontekstualisasi mata pelajaran sebagaimana yang disebutkan di atas.

Menjelang pulang, waktu sudah menunjukkan pukul 19, sudah saatnya mereka melaksanakan sholat Maghrib yang dijamak dan diqoshor dengan Sholat Isyak. namun bedanya dengan siang tadi adalah: Jamak yang dilaksanakan sekarang disebut Jamak Ta’khir, karena kedua sholat dikumpulkan pada waktu sholat yang akhir (Isya’), sedang tadi siang disebut dengan Jamak Taqdim, yakni pengumpulan kedua sholat dilakukamn di waktu sholat awal, yaitu Dluhur. Para siswa dan pembina yang beragama Kristen dan Katolik juga menutup kegiatan ini dengan beribadah sesuai dengan tuntunan agama Kristen dan agama Katolik.

Tepat pukul 22 malam, rombongan peserta pembelajaran kontekstual sudah sampai ke kampus SMA Negeri 1 Lendah dengan aman, sehat semua dan bergembira. Kegembiraan ini akan diteruskan dengan pembelajaran di kelas-kelas pada hari-hari efektif sekolah berikutnya.

Pada akhir pembelajaran, siswa diminta melakukan tahapan evaluasi, yakni dengan menjawab secara individual tes esai berikut:

  • Sebutkan minimal sepuluh butir kesimpulan hasil pemahaman Anda tentang Situs dan Museum Purba Sangiran!
  • Tulislah minimal empat butir gagasan Anda tentang kontribusi apa yang dapat dilakukan generasi muda untuk melestarikan dan mendayagunakan situs dan museum purba Sangiran pada era Indonesia Moderen!
  • Sebutkan minimal sepuluh butir kesimpulan hasil pemahaman Anda tentang Kraton Surakarta!
  • Tulislah minimal empat butir gagasan Anda tentang kontribusi apa yang dapat dilakukan generasi muda untuk melestarikan dan mendayagunakan Kraton Surakarta pada era Indonesia Moderen!
  • Tulis minimal empat butir kesimpulanmu tentang perdagangan di Pusat Grosir Solo (PGS), sesuai konteks mata pelajaran Ekonomi, Akuntansi, Sosiologi dan Geografi!

REFERENSI : Penjelasan Pemandu Wisata di Sangiran dan Kraton Kasunanan serta Mangkunegaran