Mengenal Asal-Usul Lambang Garuda Pancasila

GARUDA PANCASILA ditetapkan sebagai lambang negara Indonesia sejak 1950. Sebagai lambang negara, Burung Garuda digambarkan sedang menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda) dan kedua kakinya mencengkeram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Meski sudah diakui sebagai lambang negara, perdebatan soal Burung Garuda tak jarang masih kerap muncul: Apakah Burung Garuda itu hanya mitos atau memang benar ada di alam liar?

Jika ditilik dari sejarah, masyarakat nusantara sudah sejak lama mengenal sosok Burung Garuda. Bahkan jauh sebelum negara Indonesia berdiri, warganya sudah mengenal Garuda lewat cerita pewayangan.

Dalam agama Hindu dan Buddha, Garuda adalah salah satu dewa. Burung perkasa ini merupakan tunggangan Dewa Wisnu (salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu). Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar hingga dapat menghalangi matahari. Kisah sang Garuda tertulis dalam kitab Mahabharata dan Purana yang berasal dari India.

Dalam mitologi Hindu, Garuda adalah raja burung yang berasal dari keturunan Kasyapa dan Winata, salah seorang putri Daka. Garuda adalah musuh bebuyutan para ular.

Lahirnya Garuda sebagai lambang negara dimulai sejak 10 Januari 1950 ketika dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara. Panitia teknis ini dikoordinatori oleh Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku ‘Bung Hatta Menjawab’ untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’.Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.

Sultan Hamid II lalu kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya ‘Sekitar Pancasila’ terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.

Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih gundul dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan jambul pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, lambang Amerika Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

Namun di alam liar adakah Burung Garuda itu?

Menurut Ketua Perkumpulan Raptor Indonesia, Zaini Rakhman, pemerintah secara tidak langsung sudah mengakui bahwa Garuda itu adalah Burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Hal ini tertuang dalam Keppres Nomor 4 Tahun 1993 tantang Satwa dan Bung Nasional. Dalam Keppres yang diterbitkan Presiden Soeharto itu, Elang Jawa dikategorikan sebagai satwa langka.

“Jika mengacu pada Keppres No 4 Tahun 1993, Elang Jawa dijadikan Satwa Nasional. Alasannya pertama Elang Jawa itu mirip dengan Garuda dan yang kedua memang langka (saat itu),” ujar Zaini Rakhman kepada merdeka.com, Rabu (8/3).

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Konservasi Elang Indonesia, Gunawan. Menurut Gunawan, jika merujuk pada aturan di Keppres tersebut, Elang Jawa memang memiliki kemiripan dengan burung Garuda. Kemiripan ini misalnya pada jambul, dan warna bulu yang keemasan saat Elang Jawa masih muda.

“Kalau masih muda warna bulunya memang keemasan, semakin menua makin cokelat warnanya,” ujar Gunawan.

Dengan adanya Keppres tersebut Kementerian Kehutanan pun memiliki rencana dan strategi untuk meningkat populasi Elang Jawa di alam liar. Namun sayangnya, semakin dilindungi, keinginan warga untuk mengoleksi burung yang kini statusnya terancam punah itu semakin tinggi.

Data yang dimiliki Perkumpulan Raptor Indonesia, sensus tahun 2014-2015, jumlah Elang Jawa di alam liar ada 423 pasang. Tahun 2010, jumlahnya berkurang menjadi 325 pasang. Dan sensus terakhir 2015 yang hingga kini datanya belum lengkap, diperkirakan elang jawa di alam liar tinggal 300 pasang.

“Yang membuat jumlahnya semakin menurun tentu luasan habitat mereka yang terus berkurang di pulau Jawa. Dulu banyak hutan kini sudah ditebang dijadikan perumahan semua, kedua adalah maraknya perburuan dan perdagangan liar burung ini,” ujar Zaini.

Yayasan Konservasi Elang Indonesia pernah melakukan penelitian soal penjualan burung elang tahun 2015 lalu. Di tahun itu, tidak kurang 2471 burung elang diperdagangkan. Dari angka itu, 127 di antaranya adalah Elang Jawa.

Lokasi suaka elang di TNHS 2017 (Sumber: Merdeka.com)

“Sekarang dengan perkembangan teknologi jual beli itu dilakukan di media sosial dengan memanfaatkan grup-grup. Di tahun 2015 lalu, kita temukan 127 Elang Jawa diperjualbelikan secara bebas di 38 grup Facebook,” ujar Gunawan.

Meningkatnya perburuan dan perdagangan satwa langka ini sudah barang tentu mengancam kelestarian Elang Jawa. Tidak peduli elang jawa itu merupakan inspirasi lambang negara atau tidak, tetapi pelestarian burung yang hanya ditemukan di pulau jawa itu perlu tingkatkan. Sayangnya penegakan hukum bagi mereka yang memiliki atau memperjualbelikan secara tidak sah belum maksimal. Hal ini yang membuat perdagangan elang jawa dan elang-elang lainnya hingga kini masih marak.

“Padahal aturan dalam UU Nomor 5 tahun 1990 itu tegas, pidana penjara maksimal lima tahun atau denda Rp 100 juta. Kenyataannya tidak pernah terealisasi dengan baik dan perburuan dan penjualan masih saja marak,” tutup Zaini.

Referensi:

Dari Berbagai Sumber.