Seni Sastra: “Suatu Ketika di Ruang Gawat Darurat”; dan “Kematian Kedua”

 Cerpen (1)

“Suatu Ketika di Ruang Gawat Dararurat”

Tidak mudah membedakan rintihan kesakitan dan erangan kematian. Apalagi dalam ruang  gawat darurat yang dipenuhi pasien-pasien kritis. Mendengarkan rintihan sambil menahan sakit tentu lebih susah. Terlebih lagi jika badan tidak bisa digerakkan. Karena itu aku hanya memutar-mutar bola mata mencoba melihat siapa saja yang merintih memanggil ibu, emak atau mamanya.

Upayaku untuk memutar kepala dan mencoba mendapatkan sudut pandang lebih baik tidak berhasil, karena ikatan yang membelit dadaku menyebabkan pergerakan sangat terbatas. Bayang-bayang dokter, yang menyarankan agar aku selalu tersenyum menghadapi tekanan di dada, rasanya tidak terlalu banyak menolong. Tapi saat tersenyum, ada rasa nyaman menyeruak ke rongga dada, yang membuat aku bisa membuka mata.

”Bagus, senyuman pertama yang terpenting,” ujar dokter yang terus menggerakkan stetoskop di seputaran dadaku. ”Sekarang tarik napas yang dalam,” tambahnya.

Dengan pengerahan napas perlahan dari perut ke dada terus keluar melalui hidung, aku mencoba menjernihkan pikiran sambil membuka mata, melihat berkeliling. Ternyata brankarku, tempat tidur beroda, terletak persis di pintu masuk, berdekatan dengan seorang ibu yang tiap sebentar merintih. Di kiriku seorang bapak tua dengan bantuan pernapasan kelihatan sedang berjuang menghirup oksigen. Seorang perawat tiba-tiba memindahkan bapak tua tersebut, tapi hanya satu dipan bedanya dari aku.

”Tidak banyak pilihan tempat di ruang gawat darurat,” dokter yang memeriksa denyut jantungku berkomentar seolah tahu persis apa yang kupikirkan. Aku hanya bisa tersenyum. Upaya mengumpulkan kata rasanya sangat sulit. Setiap tarikan napas untuk melafazkan satu kata seperti memerlukan ribuan kekuatan yang sulit didapatkan.

”Oke, saya sudah selesai, tidak ada yang mengkhawatirkan, hanya kecapekan dan butuh istirahat. Tapi harus tersenyum terus supaya tekanan terhadap dada berkurang,” ujar dokter yang terus meninggalkan brankarku dan memeriksa si ibu yang masih merintih kesakitan.

Dari wajahnya kelihatannya ibu tersebut setidaknya sudah berusia sekitar 70-an. Dalam sakit dan sendirian, ibu tampaknya sosok terdekat yang otomatis kita ingat untuk dimintai tolong. Mungkin itu yang menyebabkan dia terus merintih memanggil ibunya.

”Dokteer, sakiit,” tiba-tiba terdengar teriakan menggema memenuhi ruangan, diikuti entakan kaki berkali-kali dan teriakan lebih keras minta tolong. Hampir semua mata memandang seorang anak perempuan kurus yang berusaha keras melepaskan ikatan di tangan dan dadanya.

”Nina tenang saja di tempat tidur,” ujar perawat berusaha menenangkan pasien bernama Nina yang tidak berhenti mengentakkan kakinya.

”Enggak mau, Nina enggak mau diikat, lepaskan, sakiiit,” teriaknya semakin keras sambil mengentak dan meliukkan badan.

Ibu tua di sampingku yang tadinya tertidur, terbangun dan merintih memanggil lagi mamanya. ”Sakit Ma,” rintihnya perlahan diikuti koor teriakan memanggil ”mama” disuarakan hampir semua pasien yang terbangun akibat teriakan Nina.

Aku separuh tersenyum melihat berkeliling mendengarkan gaung suara kesakitan memanggil mama yang tertutup teriakan keras minta tolong Nina.

”Dokter ada orang gila,” tiba-tiba Nina berteriak sambil menunjuk ke arahku, diikuti pandangan mata semua perawat ruang gawat darurat. Senyumku langsung menghilang dan aku berusaha menutup mata seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi teriakan Nina semakin keras menuding aku gila. ”Orang kesakitan dia tersenyum-senyum. Gilaa,” teriak Nina membahana.

Suster yang berusaha menenangkannya tidak berhasil mendiamkan Nina. Entakan kaki dan teriakannya yang semakin keras membangunkan hampir semua pasien di ruang gawat darurat.

Namun rintihan dan erangan kesakitan hampir semua pasien malah membuat Nina semakin kesetanan. Teriakan dan entakan kakinya mengalahkan semua teriakan kesakitan di ruang gawat darurat. Ibu yang di depanku dengan napas tertahan kembali merintih memanggil mamanya.  Tidak terlalu jelas apa yang diucapkannya karena ia lebih banyak menyuarakan kesakitan. Untung suster tidak lama kemudian mendekati ibu tersebut, dan dibantu perawat lain ia dibawa ke ruang operasi.

Tidak lama kemudian beberapa suster memindahkan aku ke bagian yang berdekatan dengan Nina, yang sedang terlelap, kemungkinan setelah diberikan obat tidur. Dengan leluasa aku mengamati wajah tirusnya dengan mata yang seolah melesak ke dalam. Sulit membayangkan apa saja yang telah dialami Nina dan kenapa ia harus diikat, serta apa yang menyebabkan dia tidak pernah tenang.

Dari bisik-bisik perawat yang kudengar, Nina diperkirakan mengonsumsi flakka, jenis narkoba baru yang punya efek dahsyat dan mengakibatkan pemakainya selalu berteriak seperti orang kesetanan. Jika tidak mendapatkan perawatan tepat dan segera, pemakai terancam keselamatan jiwanya.

Namun saat itu aku lebih khawatir Nina terjaga, daripada membayangkan efek mengonsumsi flakka. Aku tidak berani menduga apa lagi yang akan diteriakkan Nina, jika dia terbangun dan melihat posisi aku yang sangat berdekatan dengannya.

Tentu saja tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendengar teriakan Nina lagi. Seperti tersambar petir aku mendengar Nina berteriak menuduh aku pengedar narkoba yang memberinya flakka. ”Dokter, ini orang yang mencekoki Nina dengan flakka,” tudingnya diiringi entakan kaki berkali-kali.

Seluruh mata di ruang gawat darurat serentak memandangku. Rasanya aku berharap lantai di bawahku amblas atau plafon di atas dipanku membuka dan aku terisap ke atas. Hilang dari tatapan semua mata di ruang gawat darurat. ”Dokter, tolong, Nina jangan dibiarkan dekat pengedar tersebut. Ia akan terus mengejar Nina,” teriaknya sambil terus menunjuk ke arahku.

Aku melihat dokter dan perawat berbicara dan tak lama kemudian dua perawat mendatangiku dan langsung mendorong brankarku ke luar ruang gawat darurat, masuk ke ruang kardiologi. Sambil memasang elektrokardiograf (EKG), alat pengukur denyut jantung, perawat bertanya di mana aku kenal Nina sebelumnya? ”Di ruang gawat darurat,” jawabku.

Perawat itu menatapku dengan tajam dan mengulang pertanyaannya, ”Maksud saya sebelum di ruang gawat darurat bapak pernah ketemu Nina di mana?” Dengan tegas aku menjawab: ”Belum pernah.”

Dengan agak keras perawat tersebut mencabut salah satu EKG, yang menimbulkan rasa nyeri, dan memasangnya ke bagian pinggangku. Ia terus bercerita bahwa Nina punya ingatan kuat dan bisa menceritakan semua kronologis sampai ia dibawa ke rumah sakit karena dicecoki flakka oleh teman-temannya. Tapi sejak itu tidak ada lagi yang menjenguk Nina.

”Dunia sempit ya. Nina tampaknya kenal betul bapak dan sampai dua kali menunjuk bapak,” tambah si perawat sambil menatapku tidak berkedip. Ia menjelaskan bahwa rumah sakit serasa ditinggalkan beban berat mengurus Nina yang hampir setiap hari berteriak ketakutan. Selalu dihantui, dikejar-kejar pengedar narkoba.

Aku tidak menjawab. Selain tidak tahu bagaimana harus menanggapi masalah pasien korban narkoba, aku juga bingung apa kaitanku dengan Nina. Dokter yang memeriksa denyut nadi dan jantungku juga ikutan menjelaskan bahwa pengedar narkoba biasanya tidak pernah melepaskan pasien korban narkoba begitu saja. Melalui keluarga, mereka akan terus berusaha memasok narkoba. Untuk menutup malu serta menghindarkan pasien berteriak-teriak, keluarga biasanya membiarkan pengedar mencekoki pasien. Sampai akhirnya keluarga kehabisan uang dan harta, serta tidak sanggup lagi membeli narkoba, baru pengedar melepaskan pasien.

”Beban kami mulai dari situ,” tutup dokter sambil menambahkan bahwa tentu saja tidak mungkin aku menjadi pengedar narkoba. ”Walaupun tidak ada yang enggak mungkin, tapi mustahil bapak pengedar,” tambahnya sambil tersenyum.

Setelah mengecek bolak-balik hasil pemeriksaan denyut jantung dan berkas serta riwayat penyakitku, dokter menyatakan aku bisa kembali ke ruang gawat darurat. Ia bahkan menambahkan jika tidak ada perkembangan yang memberatkan aku bisa keluar segera dari rumah sakit. ”Kelamaan di rumah sakit lama-lama malah bisa jadi pengedar beneran,” tambahnya sambil tertawa lebar.

Aku tidak sempat menanggapi pernyataan dokter yang terakhir karena si perawat langsung mendorong brankarku ke luar ruangan kardiologi dan melewati Nina yang kelihatannya sudah tertidur pulas.

Lampu ruang gawat darurat yang sudah dimatikan karena malam semakin larut membuat aku sangat mengantuk. Suasana di ruang gawat darurat yang sangat senyap serta tidak ada lagi teriakan kesakitan, membuat hampir semua pasien dan perawat tertidur pulas. Aku perlahan  mulai memicingkan mata.

Persis saat menutup mata aku melihat seorang perawat mendekati brankar Nina dan terlihat seperti menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Tak lama kemudian Nina terdengar berteriak keras sekali: ”Sakiiit, kepala Nina sakit sekali, dokter toloong.”

Lampu ruang gawat darurat otomatis menyala semuanya. Nina kelihatan sangat kesakitan dan membenturkan kepalanya ke tempat tidur, sambil mengentakkan kaki dan meliuk-liukkan badan. Dokter dan semua perawat memenuhi ruang gawat darurat. Tidak lama kemudian petugas keamanan rumah sakit masuk sambil menyerahkan sesuatu kepada dokter yang terus meninggalkan ruangan diikuti sejumlah perawat.

Suasana sangat tegang. Apalagi polisi kemudian tampak memasuki ruang gawat darurat dan terus menyisir semua tempat serta berkali-kali melewati brankarku. Tak lama kemudian Nina dibawa ke ruang operasi. Pintu masuk ruang gawat darurat dikunci dan tidak ada yang diperbolehkan masuk dan juga keluar ruang gawat darurat. Anehnya, dalam keadaan tegang tersebut, tidak terdengar teriakan dan keluhan pasien kesakitan. Suasana menjadi hening dan mencekam.

Perawat yang biasanya saling melontarkan lelucon mengatasi rasa bosan, semuanya terdiam. Hanya suara langkah bolak-balik petugas keamanan yang menyisir dan memeriksa setiap sudut ruang gawat darurat mulai terdengar menyiksa.

Tak lama kemudian dokter kepala bagian ruang gawat darurat terlihat mengumpulkan para perawat. Setelah mendengarkan briefing dokter kepala dan petugas keamanan, seorang perawat terlihat digiring ke luar ruangan oleh petugas keamanan. Tidak ada penjelasan atau keterangan apa pun sampai lampu ruangan gawat darurat dipadamkan.

Menjelang pagi, ruang gawat darurat kembali hiruk-pikuk menerima pasien kritis dan silih berganti memindahkan pasien yang masuk hari sebelumnya menggantikannya dengan yang baru datang. Aku termasuk yang dikeluarkan dari ruang gawat darurat. Dua perawat mendorong brankarku dan memasukkan aku ke mobil ambulans menuju ruang perawatan. Dan dalam ruangan tersebut aku melihat Nina sedang tiduran. Kelihatannya aku akan berbagi kamar dengan Nina, yang terlihat sangat sehat serta penuh senyum.

Tidak banyak yang dikatakannya kecuali bahwa ia petugas yang berusaha mengungkapkan jaringan pengedar narkoba di rumah sakit dan kebetulan aku berada di ruang gawat darurat saat jaringan pengedar hampir terungkap. Keberadaanku menurut Nina sangat membantu karena anggota sindikat pengedar di rumah sakit merasa aman untuk meracuninya guna menghilangkan bukti. Tapi untung usaha tersebut tidak berhasil dan Nina dapat diselamatkan. Ketika kutanya apakah dia akan lama bersamaku di ruang perawatan, Nina hanya berkata singkat: ”Siapa yang mau sekamar dengan pengedar narkoba.”

______________________

Tentang Penulis Cerpen ini

Des Alwi lahir 3 September 1960 di Pariaman dan saat ini bekerja di Kementerian Luar Negeri. Bercita-cita sebagai penulis, ia pernah menjadi wartawan di majalah Fokus (1982) dan harian ekonomi Bisnis Indonesia (1985). Cerpen pertamanya dimuat di majalah SMA 2 Padang tahun 1978 dan cerpen keduanya, ”Ms. Watso”, masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2014.

Ilustrastor Cerpen ini:

Susilo Budi Purwanto lahir di Magelang, 26 Juli 1966. Menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta dan kemudian menetap di kota yang sama. Pertama kali berpameran tahun 1999 di Edwin’s Gallery, Jakarta. Susilo juga menjadi salah satu komponen dalam Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas tahun 2012 di Bentara Budaya Jakarta. Alamat surel: susilobp@gmail.com. Selebihnya ia sudah berpameran puluhan kali di sejumlah galeri di Tanah Air.

 

Cerpen (2)

“Kematian Kedua”

Lelaki tua itu akhirnya benar-benar meninggal dunia. Jenazahnya ditutupi kain hitam dan diletakkan di atas tikar daun lontar di ruang tengah rumahnya. Sebuah rumah panggung suku Kajang.

Orang-orang bersedih melayat mayatnya. Menyingkap kain yang menutupi wajahnya seolah hendak memastikan bahwa ia sungguh sudah tak bernyawa. Juga diam-diam berupaya melihat satu tanda.

Sebuah keloid. Bekas luka yang menebal dan timbul di kulit. Serupa seekor lipan, sebesar—namun sedikit lebih panjang—jari telunjuk orang dewasa. Lengkap dengan kaki-kaki dari bekas jahitan kasar di kedua sisinya. Melingkar agak miring di sisi kanan lehernya.

Sappe meyakini dan orang-orang percaya bahwa dirinya sudah pernah mati. Hanya keajaiban membuatnya hidup kembali. ”Nakke maengnga’ mate, mingka attallasa’asse’,” begitu ia sering berkata memulai ceritanya. Saya sudah pernah mati, namun hidup kembali. Sebuah kalimat yang akan membuat orang-orang terhenyak, menunggu dia melanjutkan kisahnya.

Ia berusia sekitar dua puluh tahun menjelang musim hujan berakhir tahun 1956. Ketika itu, gerombolan DI/TII yang mereka sebut Gurilla, menyerbu suku Kajang di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Gurilla menyerang untuk memaksa membayar upeti, menghancurkan adat, dan agama orang Kajang.

Gurilla menganggap agama Kajang togut dan memaksa mereka berpindah menganut agama para Gurilla. Setelah berbagai pembakaran hutan dan permukiman, penganiayaan, penculikan, penembakan, serta pembunuhan, warga Kajang menolak tunduk. Ammatoa, selaku kepala suku bersama para pemuka adat Kajang, sepakat berjuang mempertahankan Kajang.

Para lelaki dewasa bergabung untuk menghadang serangan Gurilla di daerah luar kawasan adat, Ipantarang Embayya. Tujuannya agar Gurilla tidak masuk kawasan adat, Ilalang Embayya. Sebab bila berhasil masuk, Gurilla bisa membantai anak-anak, perempuan, orang tua, dan membakar permukiman mereka.

Gurilla juga akan memusnahkan berbagai benda dan tempat keramat. Tempat yang sangat dijaga adalah hutan keramat Borong Karamaka. Hutan tempat turunnya Sang Maha Berkehendak Tu Rie’ A’ra’na untuk menerima nazar, permohonan, dan persembahan dalam berbagai upacara suku Kajang.

Kepala suku bekerja mengejawantahkan pesan suku Kajang, Pasang ri Kajang: Jagai lino lollong bonena, kammayya tompa langi’, rupa tau, siagang borong-nga. Jaga bumi serta isinya, begitu juga langit, manusia, dan hutan. Pesan itu turun menjadi kewajiban segenap orang Kajang.

”Saya bertugas menyampaikan pesan dari mata-mata di Ipantarang Embayya ke tempat persembunyian pejuang di Ilalang Embayya. Tak sembarang orang ditunjuk menjalankan tugas ini. Mesti yang sangat dipercaya,” lanjutnya.

Sappe adalah warga Dusun Ralai, Illang Embayya. Ia sebelumnya suka berkunjung berjalan kaki maupun naik kuda dari kampung ke kampung, sehingga mengenal jalan dan tempat-tempat di Ilalang Embayya. Sappe menyamar dan berbaur sebagai warga biasa di Dusun Dumpu, Ipantarang Embayya.

”Tidak boleh tertangkap. Sebab kalau tertangkap, tak tahan disiksa, bisa-bisa menunjukkan tempat-tempat persembunyian pejuang,” kata Sappe.

Hingga tiba saat tak terlupakan dalam hidupnya. Ketika itu, seusai makan malam, setelah sulo kapiri dipadamkan dan bersiap tidur, kera-kera di hutan-hutan Ipantarang Embayya gaduh menjerit panjang melengking. Kegaduhan itu disusul kesunyian setelah kodok kerbau dan jangkrik berhenti berbunyi.

Isyarat sesama makhluk itu, setelah sekian lama hidup sehutan dalam damai, dipahami benar orang Kajang. Mereka bersiap menghadapi keadaan terburuk. Ketika kesunyian dibantun dengking berulang burung kulu-kulu, mereka tahu bahwa makhluk yang lebih dikenali suara dibanding wujudnya itu, melihat kobar api.

Lalu seperti yang diperkirakan terjadi, Gurilla menyerang Dumpu. Mereka mulai dengan membakar hutan. Sebelumnya, di awal-awal penyerangannya, Gurilla menebangi hutan. Selain sebagai teror sebab hutan sangat dimuliakan orang Kajang, juga karena menganggapnya tempat persembunyian pejuang Kajang.

Masalahnya, terjadi hal yang tak diduga Gurilla. Mereka mendapat serangan balik dari bani, lebah yang mempertahankan wilayahnya. Bani yang sebelumnya tak pernah diganggu orang Kajang, seperti tahu bahwa perusak hutan mereka adalah musuh.

Jeri oleh perlawanan bani membuat Gurilla mengubah taktik penyerangan. Mereka membakar hutan sebelum menebang pepohonan. Gerombolan itu juga membakar rumah serta menangkap warga untuk disiksa agar tunduk menuruti tuntutan Gurilla.

Warga menjerit panik. Sappe yang hanya bercelana pendek dan melilitkan sebuah sarung di pinggang berusaha menjauh dari arah hutan dan rumah terbakar. Rupanya itu merupakan siasat Gurilla untuk mencegah warga lari bersembunyi ke hutan. Sappe tergiring berlari menuju padang penggembalaan ke arah Ilalang Embayya.

Binar kobar api dari hutan dan rumah terbakar serta sinar bulan di antara awan kelabu, membuatnya mudah terlihat musuh. ”Ei! Berhenti!” Seorang anggota gerombolan membentak dan mengejarnya. Sappe sontak menoleh sekilas bersamaan entakan kakinya yang tak pernah beralas berlari sekuat tenaga. Sialnya, orang itu sigap mengejar berusaha menangkapnya.

Setelah sekitar 300 depa melintasi padang penggembalaan, lari Sappe tertahan di atas undakan tanah keras tepi sungai Sangkala. Sungai yang mengalir masuk Ilalang Embayya. Sappe selintas melihat permukaan sungai sejauh kira-kira dua tombak di bawahnya. Tampak gemuk. Mengalir deras tanpa riak tanda kedalaman Sungai Sangkala.

Ia berbalik. Sinar bulan membantunya menatap seorang lelaki berpakaian serdadu warna hijau tua, menyandang sten gun, rambut, dan janggutnya panjang. Lelaki itu bergerak perlahan ke arahnya. Suara bengis terlontar di antara dengus napasnya. ”Kau tidak bisa lari sekarang!”

Sebilah parang panjang runcing berkilau di tangan kanan serta sarung parang di tangan kirinya direntangkan menutup peluang Sappe meloloskan diri. ”Menyerah atau kau akan mati!” Lelaki itu mengancam sembari mengancang tebasan parang. Sappe yang tak bersenjata tinggal punya dua pilihan. Menyerah atau melompat ke sungai.

Pengejarnya terus mendekat. Sappe membayangkan siksa dan kematian apabila tertangkap. Ia mundur hingga tinggal udara di belakang pijakan tumitnya dan Patanna Je’ne sebagai penguasa palung sungai di bawah tubuhnya. Sappe lebih punya harapan selamat ke Patanna Je’ne dibanding tertangkap. Ia tidak pernah melakukan pengrusakan atau melanggar pantangan di sungai.

Sappe putuskan tak menyerah. Ia tekuk sedikit kedua lututnya mempersiapkan pegas lompatan ke belakang. Bersamaan dengan pengejarnya mengayunkan parang menebas lehernya, Sappe mendengar suara desing dan sret saat ia mendorong tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia merasa tubuh dan kepalanya terpisah.

Terdengar suara byur dari permukaan sungai sebelum tubuhnya hilang tenggelam. Pemburunya melangkah waswas untuk melongok sekilas ke permukaan sungai kecoklatan yang merayap seperti ular raksasa. Gurilla itu bergidik cepat berbalik.

Ia berjalan sambil menggosokkan ujung parangnya pada rumput berembun sebelum menyarungkan ke warangkanya. Cahaya bulan terhalang segumpal awan, tetapi angkasa tak jauh di hadapannya terang memerah. Api sedang melahap hutan dan permukiman orang Kajang.

Saat matahari terbit, seseorang menggeliat kesakitan di dasar hilir sungai Sangkala. Tak lama kemudian, kepalanya menyembul ke permukaan dan susah-payah berenang ke tepi, menjauh dari gemuruh arus deras di antara batu-batu besar di belakangnya. Ia lalu berdiri di air setinggi paha dan berjalan sempoyongan ke darat.

Tiga ekor udang besar menggantung dengan capit menjepit telinga dan tepi luka menganga yang melintang di lehernya sebelah kanan. Tangan kirinya berusaha menutup luka. Tangan kanannya menadah udang-udang yang jatuh setelah melepas jepitannya. Sappe meletakkannya perlahan di permukaan air dan udang-udang itu bergerak menyelam.

”Udang itu membangunkan saya dari kematian. Membuat saya bisa berenang ke tepi dan tak terseret masuk jeram,” kenang Sappe.

Ia merasa berutang budi ke udang-udang itu. Sejak saat itu, sebagai balas jasa, Sappe berpantang makan udang. Setiap akhir tahun, ia juga assorong persembahan sirih, pinang, dan kapur bubuk bagi Patanna Je’ne.

Udang dalam kawasan hutan keramat Borong Karamaka memang disakralkan. Salah satu pantangan adalah menangkap udang, rao doang. Udang hanya boleh ditangkap untuk kepentingan upacara. Itu pun paling banyak lima ekor dan harus atas izin Ammatoa.

Sappe berjalan mencari pertolongan. Kepalanya ia miringkan ke kanan untuk menekan tangan yang menutup lukanya. Beruntung ia terdampar di Borong Luarayya, hutan bagian luar yang bisa dikelola warga Kajang. Seorang peladang yang melihatnya berteriak memanggil temannya dan bersama menolong Sappe.

Keduanya melepas gulungan sarung Sappe. Membaringkannya dalam sarung di atas tanah. Memasukkan sepotong batang bambu ke dalam sarung dan menggotong Sappe ke rumah seorang tabib.

Tabib itu mengobati lukanya dengan jampi dan ramuan. Mengoleskan getah batang pisang untuk hentikan pendarahan. Menjahit menautkan lukanya dengan jarum tanduk rusa dan benang serat daun pandan. Membebatnya ramuan rautan kambium batang kayu tea-mate, temu lawak, daun jarak, dan daun sirih. Memberinya minum air kelapa muda dan mengasapinya dupa kayu gaharu dan getah damar.

Perlahan ia bisa bicara dan memperkenalkan diri. Menyebut nama kedua orangtuanya, tetua kampung, dan nama kampungnya. Tabib itu kemudian meminta seorang anak lelakinya menemui kedua orangtua Sappe untuk mengabarkan keadaan anaknya. Saat sore, orangtua dan kerabatnya datang menjemputnya.

Awal tahun 1965, Tentara Nasional Indonesia menembak mati pemimpin DI/TII. Peristiwa itu mengakhiri teror mengerikan mereka di Kajang dan Sulawesi Selatan. Sappe dan warga Kajang lainnya kembali membangun rumah serta menanami hutan yang telah hangus dibakar.

Mereka berusaha melupakan perlakuan tak manusiawi sekelompok orang yang merasa diri lebih mulia. Sappe beruntung masih bisa bekerja menggarap ladang, menikah, dan punya dua anak. Selain itu, ia menjalani hidup dengan kengerian mencengkeram batang lehernya.

”Tengah malam tadi dia tiba-tiba terbangun. Badan gemetar penuh keringat. Katanya dia bermimpi melihat lehernya perlahan putus. Kepalanya lepas dari badannya,” kata istri Sappe sembap di samping jenazah suaminya.

”Tadi pagi, hingga matahari beranjak naik, dia tidak bangun sebagaimana biasanya,” lanjut istri Sappe. Ia tak berpakaian dan ikkarambi—mengenakan sarung hitam dengan mengikatkan kedua sudut ujungnya di atas pundak—sebagai tanda berkabung. Sappe dimakamkan di pekuburan Dusun Ralai.

Seusai penguburan, pengantar jenazah pulang beriringan di jalan setapak. Beberapa orang tua tertinggal di belakang. Orang-orang yang dulu juga mengalami siksa dan derita penyerangan Gurilla.

Luka membekas di tubuh dan pedih melekat dalam ingatan mereka. Tidak pernah benar-benar sembuh. Seperti hutan yang dulu dibakar dan ditebang Gurilla di kiri dan kanan mereka. Tak bisa tumbuh serimbun sediakala.

Catatan:

Sulo kapiri: pelita dari kemiri dan kapuk yang ditumbuk halus lalu dililit di sebilah bambu.

Tea-mate: tak mau mati, sebutan bagi pohon kudo, Lannea coromandelica.

___________

Tentang Penulis Cerpen ini:

Aslan Abidin, lahir di Soppeng, 31 Mei 1972. Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Menulis sastra, terutama puisi. Buku puisinya Bahaya Laten Malam Pengantin (2008) sedang proses penerbitan ulang Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul Orkestra Pemakaman.

Tentang Ilustrator Cerpen ini

I Wayan Suja, lahir di Batubulan, Bali, 8 Desember 1975. Menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar (STSI/ISI Denpasar). Penghargaan: Finalists of Indonesia Art Award dari YSRI (2000); Top 30 Finalist The 2005 Sovereign Asian Art Prize, Hong Kong.

Referensi: Kompas, 30 September 2018 dan Kompas, 23 September 2018.