Sastra: Gadis Kecil Bernama Alenia

GADIS kecil itu duduk sendiri di pojokan jalan, menjuntai kaki di atas trotoar, dan badannya yang mungil itu nampak menggigil. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, hanya anak pengemis, mungkin. Atau hanya seorang anak yang kebetulan kesasar dan kehilangan orangtuanya. Bisa saja itu terjadi. Tapi, yang pasti, tidak ada yang peduli dan merasa ingin tahu siapa gadis kecil itu, termasuk saya. Saya hanya mengamati gadis kecil itu sepanjang malam. Hanya bergeming, tidak melakukan apa-apa. Hanya mengamati. Sudah.

Sejujurnya ada rasa ingin tahu dalam diri saya. Barangkali dia butuh pertolongan atau semacamnya, barangkali dia memang kehilangan orangtua dan sudah tidak makan seharian. Mungkin dia juga kedinginan. Tapi, kemungkinan-kemungkinan itu terasa tidak masuk akal, gadis kecil itu barangkali hanya seorang gadis kecil biasa. Tidak perlu dilebih-lebihkan.

Malam hari berikutnya, saya masih melihat gadis kecil itu seorang diri di pojokan jalan yang sama. Bajunya tetap sama, posisi duduknya pun juga tetap sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Saya mulai merasa aneh sebab orang-orang tetap melewatinya begitu saja, kendaraan-kendaraan tetap tak ada yang mau berhenti, bahkan untuk sekadar bertanya, “Adik tinggal di mana? Adik sedang apa malam-malam begini sendirian? Orangtua adik di mana?” Tidak ada yang seperti itu. Diam-diam saya membatin, apa orang-orang sudah kehilangan rasa peduli ya? Apa waktu sedemikian berharganya, hingga sedikit waktu untuk sekadar peduli pada orang lain sudah tidak ada? Eh kok saya membatin begitu, toh saya juga tidak melakukan apa-apa.

Saya menepis pikiran itu jauh-jauh. Siapa gadis kecil itu tidak akan terjawab bila hanya dipikirkan. Saya harus mendekatinya. Antara ragu dan tidak, saya mulai melangkah menuju tempat gadis kecil itu. Malam masih saja dingin, dan jalanan sudah mulai sepi. Saya melirik arloji, sudah pukul 10 lewat ternyata. Ini kebetulan. Orang-orang tidak akan berprasangka macam-macam jika saya dekati gadis kecil itu. Tidak akan ada yang mengira bahwa saya adalah keluarga gadis kecil itu, atau tak akan ada yang menganggap bahwa saya adalah penculik anak dan sengaja memperkerjakanya demi kepentingan perut saya. Tidak akan. Malam sudah sepi, kebanyakan orang sudah terlelap dalam mimpi masing-masing.

Saya meninggalkan tempat saya dan melangkah perlahan menuju gadis kecil itu. Pikiran saya hanya satu: saya harus menyapanya selembut mungkin. Barangkali perasaannya sedang kacau.

Saya melangkah dan melangkah sampai berjarak kira-kira sepuluh meter darinya. Di bawah lampu jalan saya mulai berpikir ulang, apakah mendekatinya hanya satu-satunya pilihan? Ah, lagi-lagi pikiran itu datang. Apakah ini semacam skenario penjahat untuk mencelakai saya? Barangkali setelahnya segerombolan penjahat akan datang dan membawa saya entah ke mana. “Sudahlah, demi kemanusiaan. Lakukan demi kemanusiaan. Lakukan apa yang selayaknya manusia lakukan saat ini.” Tiba-tiba pikiran itu datang menguatkan niat saya. Tanpa pikir panjang, saya melangkah kembali menuju tempat gadis kecil itu.

Gadis kecil itu tetap tak bergeming saat saya berada di belakangnya. Saya melangkah dan menyentuh pundak kecilnya. Aneh, pundaknya terasa dingin, saya merasa pernah mendapati perasaan seperti ini, tapi mungkin bukan perasaan yang sama.

“Gadis kecil….” Saya mulai menyapanya selembut mungkin. Saya harus berhati-hati, salah-salah justru bisa membuatnya takut.

Gadis kecil itu tetap bergeming.

“Asalamualaikum….” Saya ulangi menyapanya.

Tetap saja ia bergeming. Ada apa sebenarnya? Apa ia bukan manusia? Eh kok pikiran macam-macam saya datang lagi. Ingat satu hal: demi kemanusiaan! Tapi, bila memang benar ia bukan manusia, apakah slogan demi kemanusiaan masih berlaku?

Tiba-tiba saat saya sedang asyik bergelut dengan pikiran yang bermacam-macam itu, gadis kecil itu membalikkan badannya. Saya kaget dan mundur beberapa langkah.

Beberapa detik kami hanya bertatapan. Sesaat kemudian saya seperti tersadar akan suatu hal.

Ini tidak mungkin. Saya seperti pernah melihat gadis kecil itu di suatu tempat. Tapi, di mana? Wajahnya begitu saya kenali, sorot matanya, rambut hitam panjangnya, motif bunga di bajunya. Semua seperti saya kenali. Saya mulai mengingat-ingat siapa dia sebenarnya. Di mana saya pernah bertemu?

“Kakak. Alenia sudah menunggu kakak. Tapi, kakak cuma melihat Alenia dari jauh. Apa kakak sudah lupa?”

Tunggu sebentar. Saya semakin yakin bahwa saya pernah melihatnya di suatu tempat. Ya, saya yakin pernah bertemu gadis kecil ini. Suaranya saya kenali, Alenia, nama yang tak asing di telinga saya. Saya terus berupaya untuk mengingat gadis kecil ini. Astaga. Dalam keadaan begini ternyata pekerjaan mengingat sangat susah dilakukan. Menyebalkan!

“Kakak.” Suara Alenia menggema dalam kepala saya. Berulang-ulang.

Saya mendadak seperti orang linglung. Berupaya mengingat terlalu keras membuat kepala saya pusing. Badan saya menjadi berat, seperti ada gada raksasa yang menghantam dan memaksa tubuh saya untuk rebah. Samar-samar pandangan saya mulai gelap, sebelum semua menjadi gelap total saya masih sempat melihat Alenia tersenyum, lalu kembali membalikkan badannya dan tetap duduk seperti sebelumnya.

“Kakak….” suara Alenia tetap menggema dalam kepala saya.

***

Saya terbangun di suatu tempat. Dan suara gadis kecil itu tetap saja terbayang dalam kepala saya.

“Kakak… Kakak….”

Senyumnya, matanya, rambutnya. Semuanya tetap saja terbawa. Berarti ini bukan mimpi. Saya memang pernah bertemu dengan gadis kecil itu. Tapi, sekarang saya di mana? Apa ini justru mimpi? Atau ini surga? Apa ini mimpi tentang surga?

Belakangan saya tahu bahwa saya berada di rumah sakit. Entah apa yang terjadi dengan saya. Mungkin saat itu karena terlalu kaget, dan terlalu keras mengingat membuat saya pingsan. Tapi, itu masih kemungkinan, bisa saja salah.

Kepala saya tetap pusing, badan saya tetap terasa berat. Saya hanya bisa tiduran dan saya lihat banyak alat-alat aneh dan jarum infus sudah tertancap di tangan kiri saya. Saya mendengar langkah kaki pelan. Ternyata seorang dokter dan perawat masuk ke kamar saya. Kebetulan, saya akan tanyakan banyak hal pada mereka.

 

Tapi aneh, suara saya sungguh berat untuk keluar. Apa sakit saya sebegitu parahnya? Saya hanya bisa mendengar samar-samar dokter itu berbicara dengan seorang perawat. Ia semacam menunjukan selembar kertas yang entah apa isinya. Seorang lagi masuk dan saya ingat siapa dia: Ibu saya. Semacam ada perdebatan kecil yang tidak jelas terdengar dalam telinga saya. Kemudian ibu saya menangis, sang dokter memegang pundaknya, perawat ikut-ikutan memegang tangannya. Suasana berubah mellow dan saya ingat ini seperti drama kesukaan saya. Ada apa ini sebenarnya? Entah mengapa dalam keadaan seperti ini saya justru teringat gadis kecil bernama Alenia itu.

“Kakak… Kakak…,” suaranya tetap saja bergema dalam kepala saya, membuat saya tenang.

Sejurus kemudian semakin banyak yang masuk ke kamar saya. Teman-teman, keluarga, istri, bahkan mungkin wartawan juga ada. Hal ini membuat saya semakin bingung. Ada apa dengan saya sebenarnya? Mengapa saya tidak bisa mengingat satu hal pun tentang rentetan kejadian ini? Apa hubungan Alenia dengan rumah sakit ini? Saya ingin tanyakan ini semua pada mereka. Tapi, saya tidak tega, mereka semua nampak menangis.

Kemudian perawat itu mencopot infus saya, melepas alat-alat aneh yang entah apa fungsinya. Saya semakin heran, saya ingin tanyakan ini semua tapi suara saya sangat berat untuk keluar. Samar-samar saya hanya bisa mendengar percakapan orang-orang,

“Kasihan ya semuda itu…”

“Kasihan juga istrinya sedang mengandung anak pertamanya.”

“Anaknya bakal yatim.”

“Tuhan memanggil orang-orang baik lebih dulu.”

“Dia memang baik.”

“Apakah keluarga sudah yakin?”

“Benar dok, ini pesan almarhum. Dan memang hanya ini kemaunnya.”

Baiklah saya mulai mengetahui alur cerita ini. Potongan ingatan mulai menyatu dalam kepala saya. Kemanusiaan, rumah sakit, kecelakaan minggu lalu. Semua mulai kembali ke tempat masing-masing.

“Jantungnya akan didonorkan?”

“Benar, dok.”

Saya semakin yakin satu hal: Alenia, gadis kecil itu, entah saya pernah mengenalnya di mana, atau barangkali saya memang belum pernah bertemu dengannya. Tapi saya tahu arti senyumnya,

“Kakak… Kakak…, terima kasih sudah memberikan Alenia kesempatan hidup lebih lama.” Suara Alenia masih saja terbayang dalam kepala saya. Senyumnya, matanya, rambut panjangnya masih saja terlihat jelas.

Bukan, sayang. Bukan kakak yang memberi Alenia kesempatan hidup. Hanya Tuhan yang bisa begitu. Hanya saja itu tugas kakak sebagai manusia. Kakak selalu berpegang teguh pada satu hal: demi kemanusiaan…. (*)

_______________

Haryo Pamungkas.  Cerpennya telah dimuat di berbagai media cetak dan daring.

Referensi: Haryo Pamungkas, Media Indonesia, 7 Oktober 2018