Memerhatikan Kebijakan Pemerintah soal Guru Honorer

Pemerintah memutuskan tenaga honorer bisa menjadi aparatur sipil negara atau ASN. Namun, mereka akan diseleksi ketat untuk menjamin mutu ASN.

Tenaga honorer kategori 2, yakni tenaga honorer yang terdata di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, akan diberi kesempatan mengikuti seleksi untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Jika tidak lolos, mereka tetap akan diberi kesempatan menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka akan mendapat gaji layak seperti PNS, tetapi tidak mendapatkan uang pensiun.

Kesempatan yang sama diberikan kepada 157.210 guru berstatus tenaga honorer kategori (THK) 2 yang akan diselesaikan paling lambat Desember 2018. Namun, yang diprioritaskan untuk mengikuti seleksi calon PNS karena memenuhi syarat hanya 12.883 orang. Mereka adalah yang berusia kurang dari 35 tahun dan berpendidikan S-1 atau D-4. Adapun selebihnya akan diberi kesempatan mengikuti seleksi PPPK.

Jumlah guru honorer yang sesungguhnya bertugas di beberapa sekolah jauh lebih besar dari itu. Mereka banyak yang mengabdi hingga belasan tahun dengan gaji yang sangat minim. Wajar jika kemudian mereka menuntut untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Namun, di sisi lain, ada pula tuntutan untuk meningkatkan kualitas aparatur sipil negara di tengah persaingan global yang semakin ketat.

Harus diakui, perekrutan guru honorer selama ini tidak memiliki aturan dan mekanisme yang jelas. Sekolah yang mengeluh kekurangan guru tak kunjung dipenuhi pemerintah. Padahal, proses belajar-mengajar tidak bisa ditunda karena ruangan kelas tidak mungkin kosong tanpa guru. Akhirnya, karena terdesak, sekolah mengangkat guru honorer tanpa standar yang jelas. Kejadian ini terus berlangsung selama bertahun-tahun sehingga jumlah guru honorer membeludak, hingga lebih dari 600.000 orang.

Dampak lanjutannya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) di sejumlah sekolah banyak digunakan untuk membayar honor guru yang tak seberapa. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 26 Tahun 2017 yang isinya dana BOS hanya boleh dialokasikan maksimal 15 persen untuk guru honorer di sekolah negeri dan 50 persen untuk di sekolah swasta. Guru honorer pun dipatok minimal berpendidikan S-1 atau D-4.

Ke depan, persoalan guru ini harus segera dibenahi, termasuk membenahi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang jumlahnya di luar kewajaran. Tidak boleh dan tidak bisa lagi sembarangan orang menjadi guru karena guru memiliki posisi sangat penting dalam mempersiapkan anak-anak untuk masa depan bangsa.

Menjadi guru harus melalui seleksi ketat. Hanya orang-orang terbaik yang memiliki prestasi akademis tinggi, mempunyai bakat, kemampuan hebat, dan kematangan psikologis yang bisa menjadi guru. Ini karena tugas guru bukan sekadar mendorong prestasi akademis siswa, melainkan juga mampu membangkitkan watak luhur siswa, rasa ingin tahu, semangat belajar, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa.

Referensi: Kompas, 11 Oktober 2018.