Pendidikan yang Visioner

Sekolah berasal dari kata schole yang dalam bahasa Yunani berarti semacam waktu senggang (Mohamad, 1989). Dalam konteks itu, sekolah berarti kesempatan bagi sang guru dan murid untuk saling bertemu, memberi, dan menerima.

Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai cara mengisi waktu senggang, pada masa kini justru tak sedikit peserta didik yang mengeluh kelelahan setelah pulang sekolah. Banyak sekolah yang ”memaksa” peserta didik untuk bersaing dalam meraih nilai terbaik di sekolah. Dampaknya, peserta didik menaruh perhatian besar pada tingginya skor, bukan pada mengapa suatu materi perlu dipelajari.

Waktu seharian yang dihabiskan di kelas-kelas dibayar dengan rasa lelah yang membuat peserta didik ini merasa malas untuk belajar lagi ketika di rumah. Belajar terasa lebih seperti kewajiban untuk mendapatkan skor yang tinggi, bukan sesuatu yang layak dinikmati dan dirayakan.

Dalam Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 2000), Paulo Freire mengkritik model sekolah yang melelahkan dan seperti penjara. Di kota Recife, Brasil, anak-anak dididik dengan keras. Tak jarang dengan hukuman fisik dari orangtua. Mereka tumbuh dalam ketakutan. Sebaliknya, di wilayah pantai, anak-anak  hidup dengan merdeka. Mereka jarang mengalami kekerasan fisik dari orangtua dan hidup bebas dalam iklim laut terbuka.

Relasi antara orangtua dan anak lalu dibawa ke dalam relasi antara guru dan murid di sekolah. Kedua relasi itu tidak lebih dari cerminan masyarakat luas dan negara, yang satu antidialog (Recife) dan yang lain memberi kebebasan untuk berdialog (pantai). Hubungan antidialog menunjukkan, pengetahuan menjadi semacam zat yang dipaksa masuk ke tubuh anak tanpa adanya proses diskusi dengan si anak yang menerima pendidikan.

Pada konteks Indonesia masa kini, doktrin pengetahuan keagamaan jadi salah satu yang paling terasa dampaknya di kelas-kelas. Kecenderungan sikap keras dan intoleransi beragama ditemukan di sekolah-sekolah negeri yang muridnya berasal dari berbagai latar belakang agama, bukan dari sekolah keagamaan ataupun sekolah swasta (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, 2010).

Pelajar justru menyerap pemahaman agama yang kukuh ini melalui kegiatan ekstrakurikuler, kerohanian, jaringan alumni, dan aktivis organisasi keagamaan yang menebar pengaruh serta menjala kader-kader muda. Melalui kasus ini, secara tidak langsung terciptalah kelas-kelas yang tidak lagi sekadar menunjukkan tingkat keilmuan. Ruang kelas justru menjadi tempat yang memungkinkan anggotanya saling menyingkirkan satu sama lain hanya karena beda agama.

Dalam proses pendidikan di sebuah SMA negeri di Sleman, Yogyakarta, seorang guru agama ikut mendampingi murid dalam pembentukan pengurus kelas. Anehnya, ia menganjurkan bahwa lebih baik jika yang menjadi ketua kelas berasal dari yang beragama mayoritas. Agama justru menjadi dalih yang menciptakan tembok pemisah di antara murid.

Kondisi itu juga terjadi di tingkat sekolah dasar. Pada pertengahan 2018, seorang kawan bercerita, ia menjumpai keanehan ketika sedang melakukan pengambilan data untuk penelitian. Beberapa siswa kelas V menanyai apa agamanya setelah ia menyebutkan namanya. Indonesia seperti apa yang bisa diharapkan dari anak-anak yang dicekoki pemahaman keagamaan yang sedemikian sempit?

Di sinilah pentingnya memberi ruang imajinasi bagi peserta didik. Murid mesti bisa berkembang dengan bahasa dan pengetahuan yang ia temukan sendiri. Mereka bukan mesin aplikasi yang apabila diisi formula tertentu akan bertindak sesuai rumus. Otak dan kepandaian bukan melulu menjadi perkara yang perlu dikembangkan dalam sekolah. Ketika seorang anak diberi imajinasi, ia bisa belajar lebih banyak dan mengembangkan kemampuannya sendiri.

Sebuah penelitian neurologi mengenai rusaknya pre-frontal cortex (PFC) dikembangkan oleh Zhong and Grafman (2017). PFC adalah bagian otak yang digunakan sebagai pembuat perencanaan, kontrol diri, pengatur emosi, dan pengambilan keputusan. Kerusakan bagian itu menurunkan kemampuan manusia melakukan kontrol diri sehingga agresi bisa meledak-ledak.

Agresi ini bisa ditunjukkan dengan rendahnya fleksibilitas kognitif yang membuat seseorang mengalami ketidakmampuan untuk toleran terhadap gagasan atau keyakinan yang lain. Dalam penelitian Zhong and Grafman, PFC menentukan keterbukaan mental saat menanggapi perbedaan gagasan keagamaan. Jika dalam dunia sosial pengetahuan yang diperoleh terlalu sempit dan dipaksakan, yang terjadi adalah sel-sel dalam PFC tidak berkembang dan rasa menghargai satu sama lain tidak menjadi hal penting bagi orang tersebut.

Penelitian ini dapat dijadikan refleksi bahwa pendidikan harus mengembangkan pula nilai-nilai kemanusiaan. Ada banyak jenis manusia dengan paham yang berbeda. Hanya dengan belajar mengalami dan berimajinasi bahwa ada orang-orang yang berbeda dari dirinya, pemahaman dan penghargaan antarmanusia mungkin diwujudkan.

Dalam kasus demikian, pendidikan mesti menjadi sesuatu yang menyeluruh. Bukan sekadar pemaksaan terhadap suatu paham yang sempit dan menguntungkan pihak tertentu. Perkembangan otak perlu diikuti dengan perkembangan hati nurani, emosi, dan budi pekerti. Dengan cara ini, imajinasi bisa dirawat dan dikembangkan.

Referensi: Metta Prajna, Kompas, 12 November 2018