Mari Terus Memahami Definisi Desa dan Kelurahan

Jumlah desa di Indonesia tercatat 74.754 dan jumlah kelurahan sebanyak 8.430.

Saat ini animo masyarakat kelurahan di berbagai lokasi di Indonesia menginginkan berubah menjadi desa terus bergerak naik, menyusul diterapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana salah satu pasalnya mengatur hal tersebut. Animo itu didorong oleh faktor utama adanya dana desa di era berlakunya UU Desa karena desa memiliki otonomi dalam pengelolaannya. Berbeda daripada kelurahan yang sejak awal diatur sebagai perangkat pemerintah daerah.

Fakta ini bahkan seolah mampu merontokkan asumsi lama mengenai desa-desa di Indonesia dengan segala atribut kehidupannya, terutama ihwal nilai-nilai sosial-budaya yang baik secara akademik maupun perilaku empiris telah diyakini bahwa desa adalah paguyuban. Desa adalah berkumpulnya masyarakat dengan nilai gotong royong tinggi dan lain-lain. Kini seolah desa menjadi tempat berburu rente negara dengan segala dampaknya.

Fragmentasi parsial

Pasal 12 UU No 6/2014 tentang Desa terdiri atas tiga ayat yang menjadi dasar perubahan kelurahan jadi desa kembali. Pertama, pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat mengubah status kelurahan menjadi desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, kelurahan yang berubah status jadi desa, sarana dan prasarana menjadi milik desa dan dikelola oleh desa bersangkutan untuk kepentingan masyarakat desa. Ketiga, pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota.

Meski belum terdapat ketentuan operasional di tingkat nasional, di sejumlah wilayah, pemda atasannya telah merespons keinginan sejumlah masyarakat kelurahan agar wilayahnya kembali jadi desa. Pasal 12 tadi sebetulnya jika dikaji berdasarkan ketentuan umum dalam UU tersebut, Pasal 11 yang mengatur perubahan desa jadi kelurahan, dan ditambahkan dengan cara berpikir mengenai konsep desa dan kelurahan, maka pasal tersebut patut diperbaiki. Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain—selanjutnya disebut desa—adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/ atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.

Sementara perubahan desa menjadi kelurahan, menurut UU, ini diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 bahwa desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa melalui musyawarah desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat desa.

Sebaliknya, ketentuan prakarsa masyarakat setempat dalam kelurahan, menurut Pasal 12, jadi kabur jika dikaitkan dengan definisi kelurahan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan (yang tidak diatur dalam UU No 6/2014). Bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan. UU ini harus mengatur masyarakat dalam wilayah kerja lurah itu berbentuk seperti apa. Musyawarah desa dalam kelurahan tentu hilang sebagai lembaga, selain tidak adanya badan permusyawaratan desa di kelurahan tersebut. Antara ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 dalam UU No 6/2014 tentang Desa dapat dinilai bersifat fragmented. Terpecah, tidak berhubungan sistematis secara baik satu dengan lainnya.

Para pakar sosiologi hukum juga telah lama meyakini, kelurahan itu pemerintahan untuk kawasan masyarakat yang bercirikan perkotaan, sedangkan desa adalah pemerintahan untuk masyarakat bercirikan perdesaan dengan sejumlah atribut nilai-nilai setempat yang berbeda. Secara akal sehat, perdesaan berkembang menjadi perkotaan dan bukan sebaliknya. Terkait hal ini, perumus UU No 6/2014 dinilai parsialis karena konsep desa dan kota tidak komprehensif. Persoalan desa dan kelurahan dalam UU ini sekadar administrasi, tanpa terkait nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat.

Dampak

Terdapat dua kelompok desa yang cukup pelik yang harus diperhatikan. Pertama, adanya data yang menunjukkan ketika UU No 22/1999 tentang Pemda berlaku, di mana tentang desa juga diatur dalam UU ini, yang melarang dalam wilayah kota (otonom) terdapat desa-desa. Ini mengakibatkan beberapa lokasi yang masih bercirikan desa dipaksa menjadi kelurahan. Untuk wilayah seperti ini, perlu diperhatikan keadaan sosiologisnya supaya pada masa sekarang dapat dipastikan apa tepat sebagai kelurahan atau desa.

Sebaliknya, kedua, terdapat beberapa kelurahan di wilayah kabupaten yang sejak dahulu sudah ditetapkan jadi kelurahan memerlukan perhatian serius dari semua pihak jika terdapat keinginan jadi desa kembali. Kabupaten—meskipun secara hukum disepakati oleh para pakar—adalah pemerintahan bagi masyarakat perdesaan, tetapi dalam kabupaten dapat berkembang wilayah perkotaan yang di tingkat terbawah dinamakan kelurahan sekaligus sebagai nama status pemerintahannya.

Dampak kembalinya kelurahan menjadi desa dapat berjenjang di tingkat desa itu sendiri dan di wilayah  yang lebih besar, bahkan sampai skala nasional. Di level desa tentu berubah kembali tata kelola internal, yang tadinya sangat administratif dipaksa kembali bermain politik dengan sejumlah tambahan pragamatisme karena adanya dana desa. Pada wilayah yang belum berkembang jadi  perkotaan lantaran UU No 22/1999 telah dipaksa diubah jadi kelurahan, kemungkinan tak memiliki dampak negatif lebih besar ketimbang yang dipaksa kembali jadi desa sementara sudah bercirikan perkotaan secara empiris. Namun, tetap saja di wilayah-wilayah itu tumbuh nilai pragmatisme dan tumbuh subur pemburu rente dana desa.

Di level kabupaten, bahkan provinsi, terjadi dinamika merespons apa yang terjadi di tingkat akar rumput tersebut. Budaya patron-klien semakin kokoh karena sokongan negara, baik provinsi maupun kabupaten/kota di mana desa-desa itu berada dapat menjadi faktor pemelihara.

Di level nasional, APBN pos dana desa mengalami tekanan naik terus-menerus untuk dikucurkan ke desa-desa. Sejumlah elite penentu kebijakan nasional dapat menggunakannya untuk menjaga status quo. Dengan memanfaatkan dana desa dan tata kelola desa, diharapkan dapat menaikkan pamor dan merebut hati masyarakat yang sebagian besar tinggal di desa. Harus dipikirkan bagaimana membendung pragmatisme dan pemburu rente masif ini. Salah satu jalan, merevisi ketentuan Pasal 12 UU No 6/2014 agar tak memperbolehkan kembalinya kelurahan menjadi desa. Ini belum termasuk adanya animo masyarakat desa untuk memekarkan desanya karena dorongan itu. Karena itu, revisi pasal ini tergolong mendesak.

_______________

Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap UI; Ketua Pengmas Desa dan Klaster Riset Democracy and Local Governance FIA UI

Referensi: Irfan Ridwan Maksum. Kompas,  17 Oktober 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*