Mendapatkan Serpih Kekuatan dari Kelemahan: Kajian Ilmu JIwa

Berpura-pura dapat merupakan perilaku kreatif. Misalnya, jika kita berpura-pura gembira, kepura-puraan kita justru akan memberi efek bagi kebutuhan diri untuk bergembira. Ternyata, berpura-pura dapat meningkatkan kapasitas penghayatan yang positif bagi kita.

Perlu kita simak bahwa memiliki ungkapan otentik tidak selalu berarti kita akan menyatakan apa yang seharusnya diekspresikan oleh pikiran kita. Namun, bisa juga merupakan ekspresi dari apa yang sebenarnya kita inginkan.

Menjadi diri yang terbaik sering menuntut kita mampu mengatasi segala hambatan yang kita miliki. Bahkan, jika perlu kita berpura-pura bisa mengatasi hambatan-hambatan tersebut karena dengan memberanikan melakukan hal baru, kita dapat menjadi pemula bagi pencapaian optimasi harapan kita pada masa mendatang.

Kasus

Hal ini merupakan pengalaman I (laki-laki, 37), seorang eksekutif suatu perusahaan yang disiapkan untuk akan naik jabatan menjadi CEO. Selain harus mengikuti seminar tentang leadership, I juga harus mengikuti pelatihan fisik dalam serangkaian pelatihan outbound.

Untuk itu, I harus meluncur dari suatu ketinggian melalui tali yang dibentangkan dari atas ke bawah. Awalnya I tampak mengernyitkan raut mukanya karena ketakutan. Kemudian, ia berteriak dengan nada yang menunjukkan ketakutan luar biasa.

Sikap itu membuat teman-teman sesama peserta pelatihan pun menunjukkan keprihatinan mereka terhadap I. Namun, setelah beberapa saat, I mampu menguasai ketakutannya karena semakin I memperlihatkan ketakutannya, semakin terpusatlah perhatian teman-temannya kepada I seraya memandang I dengan kesan ngeri.

I memang begitu terbuka menunjukkan ketakutan dan ketidakberdayaannya. Kondisi itu bisa membuat para peserta seminar melupakan berbagai kekuatan kompetensi I dalam bidang lainnya, seperti dosen andal, peneliti tangguh, dan pimpinan kelompok kecil yang banyak membahas masalah perekonomian negara, di mana kepemimpinannya benar-benar terpercaya.

Hanya melalui seminar yang menyertakan pelatihan outbond itulah akhirnya I mengambil keputusan untuk berusaha tampil prima terjun dengan berpura-pura berani melalui tambang tersebut demi mempertahankan kesan pemilikan kekuatan di bidang prestasi publik lainnya. Akhirnya, I berhasil menuruni tambang dengan selamat.

Timbul pertanyaan, mengapa tiba-tiba I berani terjun? Ternyata ada salah seorang pelatih (bernama B) yang menyusul I ke atas. Ia bersedia mendengarkan keluhan ketakutan I yang amat sangat dengan tanpa melecehkan atau merendahkan I dan tetap memperlakukan I sebagai ahli dalam bidang lain.

B dengan penuh kehangatan dan pengertian menyimak betapa besarnya rasa ngeri yang dialami I. Sikap B ditandai perhatian yang besar terhadap I dan tidak menunjukkan sikap yang terkesan bereaksi secara berlebihan atau menunjukkan wajah yang mengernyit karena terimbas ketakutan yang amat sangat dari I. B juga tidak merendahkan rasa ketakutan I dan tidak menempatkan ketakutan I sebagai problem yang sulit.

Reaksi dan aksi B ini akhirnya justru mendorong I memutuskan berpura-pura berani sambil serta-merta menuruni tambang dengan sikap tenang dan meyakinkan. I berhasil turun dengan prestasi memuaskan. Harga diri I meningkat kembali dan dengan sikap tangguh I meninggalkan arena outbond.

Dari ulasan kasus di atas, kita seyogianya mendorong diri kita menunjukkan bahwa kita berani walaupun diawali dengan berpura-pura berani. Kita juga seyogianya belajar dari pengalaman I bahwa menunjukkan rasa takut dan cemas kita di hadapan publik justru membuat diri kita tidak diperhitungkan publik.

Dengan menunjukkan keberanian kita, tanpa kita sadari, kita pun menghargai kualitas diri kita yang baik. Hal ini membuat publik akan memperlakukan diri kita sebagai anggota tim yang memiliki kompetensi yang baik pula walaupun hal ini diawali dengan pura-pura berani.

Interelasi dalam setting kerja memang sangat berbeda dengan interelasi intim. Tugas primer dalam lingkup kerja adalah mengetahui tentang berbagai persyaratan dalam kerja.

Sementara dalam interelasi intim adalah mendalami pengalaman tahu orang lain dan diketahui orang lain. Begitu pula sistem kerja yang membuat cemas tidak berbeda dengan sistem keluarga yang cemas.

Dalam setiap setting, publik akan mencari jalan untuk memuluskan penurunan kecemasan mereka serta fokus pada salah satu anggota yang rentan terhadap stres dan membuat anggota tersebut menjadi sumber permasalahan.

Ketahuilah, jika kita berada dalam kondisi tersebut, kita akan mencari sedikit serpih kekuatan dari kelemahan kita demi peluang terungkapnya kekuatan kita untuk bisa tampil di hadapan publik. Akhirnya akan terjadi perbaikan persepsi publik terhadap diri kita. Dengan demikian, harga diri kita pun terjaga dengan baik pula.

Referensi: SAWITRI SUPARDI SADARJOEN. Surat Kabar Harian Kompas, 27 Oktober 2018