Suatu Pengalaman Menatap Fenomena Sosial

Apa yang disebut pengalaman spektakuler dan pelajarannya kerap didapat dari hal-hal yang biasa, seperti kejadian beberapa waktu yang lalu ketika JEAN COUTEAU dikunjungi seorang perempuan antropolog. Biasanya, istilah ”antropolog” menggambarkan seseorang yang mendedikasikan diri pada pengetahuan kemanusiaan.

Antropolog yang bersangkutan bukan sekadar antropolog biasa, dia juga tergolong sebagai ’Indonesianis’. Di negeri ini, jarang orang yang berani membantah pernyataan seorang ahli Indonesia. Bayangkan sejenak, betapa tinggi citra orang ini: dia adalah antropolog ber-Phd, plus Indonesianis, dan sebagai ”cherry on the cake”, dia berpredikat bule. Hebat, kan?

Pasti dia telah menyelusur panggung-panggung seminar, universitas-universitas yang membutuhkan pembicara asing agar seminar dicap berlabel internasional. Ya, begitulah…. Dan, dia memang enak diajak berdiskusi. Namun, justru ketika dia tengah berbicara tentang dampak negatif orientalisme di dalam ”konstruksi” Indonesia di mata orang asing, tiba-tiba terdengar nyanyian merdu dilantunkan oleh pengeras suara di antara rerimbunan di belakang sungai sana.

Sang Indonesianis kita terentak: ”Ada kampung Jawa di sini, apakah sudah lama?” tanya dia kaget. JEAN COUTEAU menoleh bengong, tak percaya, lalu tertawa terbahak-bahak sambil berkata: ”Madam, ini bukan pengeras suara dari masjid, melainkan pengeras suara dari pura di seberang sungai, yang mengajak penganut Hindu bersembahyang sejenak ketika matahari terbenam.”

Menyadari khilafnya, ibu itu sontak berhenti menggurui JEAN COUTEAU lalu terdiam. Tak lama kemudian dia pamit, (mungkin) malu!

Anekdot seperti ini menunjukkan apa? Bahwa realitas sosial adalah sesuatu yang kompleks. Di satu pihak ada realitas sosial murni dan di lain pihak ada konstruksi sosial—kini kerap disebut representasi terhadap realitas tersebut. Representasi itu tidak netral: biar pun kita diiringi serentetan gelar universitas, kita tetap cenderung ’membaca’ realitas sosial dengan teropong bawaan yang disediakan oleh lingkungan asal kita masing-masing.

Obyektivitas amat sulit diraih. Bisa dia didekati—dan didekati saja—hanya jika kita sadar bahwa kita senantiasa dibebani oleh aneka representasi timpang yang diturunkan kepada kita melalui lingkungan asal, agama, kelas sosial, negara, dan sebagainya.

Di dalam kasus antropolog di atas, dia seolah menanti adanya tanda ekspansi Islam di Bali. Dia tahu bahwa azan disuarakan melalui pengeras suara. Maka, ketika dia mendengar lantunan merdu disuarakan melalui pengeras suara, dia langsung menginterpretasikannya sebagai tanda ’ekspansi’ Islam. Dia terbawa prasangka bawah sadarnya. Setelah ketahuan bodohnya, dia ’hilang muka’ dan bergegas pamit.

Bagaimana menghindari jebakan prasangka-prasangka seperti di atas? Dengan senantiasa membuka diri dan mempelajari kompleksitas realitas. Tidak mudah. Maka, kalau ada kesempatan, jangan dilewatkan. Kebetulan kesempatan itu amat banyak kini di Bali, di mana Ubud Writers And Readers Festival menjadi ajang favorit pluralisme antaragama dan antarbangsa.

Berbeda dengan antropolog kita di atas, di festival ini asumsi dasar bukanlah konflik antarkelompok, melainkan ’love’ atau kasih. Bisa jadi sarat keberpihakan juga, tetapi lebih simpatik…. Di antara para narasumber yang paling menarik terdapat Haidar Bagir, direktur penerbit Mizan dan pengajar filsafat Islam.

Pernyataannya justru menarik karena berbeda dengan tafsir Wahabi dan Salafi yang kini mendapat perhatian media. Menurut Haidar, tafsir agama dapat dibagi dua kelompok: (1) kelompok yang mengutamakan fikih atau hukum agama, serta (2) kelompok yang mengutamakan kasih, yaitu kaum Sufi.

Dia dengan jelas memilih kelompok kedua dan bahkan membawa keterbukaan tafsir hingga sampai pada kesimpulan bahwa keselamatan dijanjikan kepada siapa pun yang berperilaku luhur dan baik.

Apakah suara Haidar dan teman-temannya yang sepaham perlu didengar lebih lantang? Bisa jadi, baik di kalangan Islam maupun non-Islam.

KESIMPULAN:

Apa yang dapat dipelajari dari kedua kasus di atas? Pertama, kita semua dihinggapi aneka prasangka yang kita sadari, lalu cabutlah prasangka itu dari hati kita. Kedua, agama selalu terbuka pada aneka tafsir; wujudnya selalu tergantung pada penafsir dan pelakunya.

Haruslah disadari adanya segi-segi gelap—prasangka—yang menghinggapi di hati.  Dan, apabila sudah insaf, harus ada perjuangan agar kesadaran itu tecermin di dalam kehidupan spiritual dan/atau agama agar Nusantara dan dunia senantiasa aman sentosa kerta raharja.

Referensi:
JEAN COUTEAU, dan berbagai sumber.