Resensi Buku: “Pertanyaan Terpenting Abad Ini”

Wajah Buku:

Judul: What’s the Future and Why It’s Up to Us
Penulis: Tim O’Reilly
Penerbit: Random House Business Books
Cetakan: I, 2017
Tebal: xxvi, 419 halaman
ISBN: 9781847941862

Judul buku ini mungkin membuat bulu kuduk ”bergidik”. Ya! WTF?—What’s the Future?—adalah pertanyaan terpenting (mungkin juga mengerikan) di abad ini. Betapa tidak. Di pengujung dekade kedua abad ke-21 ini saja kita sudah direpotkan dengan apa yang dikenal sebagai disrupsi (disruption) di berbagai bisnis.

Di dunia ritel, misalnya, para raksasa yang berjaya di era baby boomer seperti Wall Mart harus terus mengurangi jumlah gerainya. Sementara itu, perusahaan ritel yang dikenal dengan platform marketplace seperti Amazon dan Tokopedia mulai menggantikan mereka.

Disrupsi yang terjadi akibat pesatnya perkembangan teknologi internet dan telepon pintar saat ini baru memasuki tahap awal. Ke depan, teknologi akan berkembang lebih jauh. Penulis buku—Tim O’Reilly—yang mengamati perkembangan inovasi dan teknologi selama lebih dari 35 tahun, mengatakan, yang sudah di depan mata adalah big data (dengan analisis algoritmanya) dan artificial intelligence (AI).

Teknologi AI, misalnya, telah mengantarkan Uber bersiap menjalankan proyek taksi tanpa pengemudi dengan menggunakan mobil pintar buatan Tesla.

Lalu, apa yang ada di pikiran kita? Jika kemajuan teknologi internet dan telepon pintar saja mengakibatkan banyak perusahaan besar terdisrupsi, yang pada gilirannya membawa dampak hilangnya pekerjaan banyak orang, bagaimana dengan teknologi yang lebih maju seperti big data dan AI? Tentu lebih dahsyat lagi. Tak hanya banyak orang yang kehilangan pekerjaan, bahkan pekerjaan itu sendiri yang akan menghilang.

What’s the future? Inilah pertanyaan ”mengerikan” itu. Bagaimana nasib banyak orang? Bagaimana nasib anak-anak kita pada masa depan jika kesempatan kerja dan pekerjaan (jobs) itu sendiri punah?

Fakta

Studi Universitas Oxford menunjukkan, 47 persen pekerjaan—termasuk pekerjaan kerah putih—akan digantikan oleh mesin (robot dengan teknologi artificial intelligence) dalam dua puluh tahun ke depan. Tanda-tanda itu sudah terlihat.

Riset para ekonom Stanford University juga menemukan, untuk pertama kalinya, pendapatan anak-anak di negara maju saat ini lebih rendah daripada orangtuanya. Sebelumnya, persentase anak-anak yang lahir pada 1940-an mendapatkan pendapatan lebih tinggi daripada orangtuanya mencapai 92 persen. Kini, persentase itu hanya mencapai 50 persen pada anak-anak yang dilahirkan tahun 1990-an.

Survei McKinsey Global Institute memperkuat hasil kerja kedua universitas top itu. Sekitar 540 sampai 580 juta orang, atau antara 60 persen dan 70 persen rumah tangga, di 25 negara maju mendapati nasib penurunan pendapatan dalam kurun waktu 2005-2014.

Sementara untuk kurun waktu sebelumnya (1993-2005), penurunan pendapatan itu hanya terjadi pada kurang dari 10 juta orang (kurang dari 2 persen rumah tangga). Jelas, tren dan temuan-temuan riset yang ada mengisyaratkan betapa relevannya pertanyaan—WTF—yang menjadi judul buku ini.

Untungnya, buku ini tidak hanya membahas prediksi masa depan, tetapi juga mengulas penyebab dan memberikan jalan keluar. Menurut O’Reilly, inovasi—termasuk IT—tidak boleh dijadikan biang keladi terjadinya disrupsi yang berujung hilangnya kesempatan kerja dan pekerjaan.

Pekerjaan baru pasti akan muncul. Yang diperlukan hanyalah waktu untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan teknologi baru (hlm 300).

Itulah sebabnya, judul buku ini tidak hanya mengajukan pertanyaan, tetapi juga memberikan jawaban: It’s up to us. Dapat atau tidaknya pekerjaan, sebenarnya bergantung pada masing-masing orang. Keller Rinaudo, founder dan CEO Zipline (flyzipline.com), misalnya, memiliki bisnis pengiriman darah dan obatan-obatan menggunakan drone ke daerah-daerah yang infrastrukturnya tertinggal seperti di perdesaan Rwanda. Pekerjaan ini benar-benar baru tercipta berkat kemajuan teknologi.

Fotografer Brandon Stanton, yang pekerjaannya terdisrupsi telepon pintar dengan teknologi swafotonya yang makin canggih, mampu bertahan berkat kepiawaiannya menuliskan cerita di setiap foto yang diunggahnya di media sosial. Hal itu membuat media sosial Brandon diikuti lebih dari 25 juta followers.

Kini jelas, pekerjaan baru bisa diciptakan (Keller) dan dipertahankan (Brandon). It’s up to us. Meskipun demikian, mengapa teror hilangnya kesempatan kerja dan pekerjaan—akibatnya timbul pengangguran—menghantui banyak orang? Jawaban pertanyaan inilah yang menjadi kontribusi terpenting buku ini.

Solusi

Disrupsi hilangnya pekerjaan dan menurunnya pendapatan anak-anak dibandingkan dengan orangtuanya bukan disebabkan oleh inovasi, melainkan hadirnya tiga hal: super money, megacorporation, dan kurangnya aturan.

Super money atau hot money adalah uang tidak digunakan untuk membiayai perusahaan agar menjadi besar, melainkan hanya diputar di pasar modal (hlm 275). Ini terjadi akibat pengusaha atau entrepreneur tidak berniat membangun usahanya menjadi besar, melainkan secepat mungkin menaikkan nilai saham agar segera bisa dijual.

Gayung ini disambut para investor—venture capital dan angel investor—yang cenderung menjalankan exit strategy secepat mungkin menggiring perusahaan melakukan IPO (initial public offering) dengan agio tinggi. Ini dilengkapi dengan keterlibatan para perusahaan investasi yang juga cenderung membuat produk derivatif dari sekuritas perusahaan.

Megacorporation terjadi akibat CEO yang berhasil memperbesar perusahaan cenderung melakukan monopoli. Google, misalnya, jelas menjadi megacorporation karena jangkauan bisnisnya mencapai seluruh dunia.

Monopoli oleh megacorporation inilah yang menyebabkan hilangnya kesempatan kerja, menciptakan ketimpangan pendapatan (akibat terpusatnya pendapatan di kalangan investor dan CEO), serta menurunkan pendapatan pekerja.

Terakhir, kurangnya aturan. Ini diakibatkan minim dan lemahnya pemerintah melahirkan aturan yang mampu mengatur perilaku super money dan megacorporation. Andai pemerintah mampu melahirkan aturan, kehadiran inovasi teknologi justru bisa menambah kesempatan kerja dan melahirkan jenis pekerjaan baru. Jadi? It’s up to us.

Hal penting lain yang perlu mendapat apresiasi dari buku ini adalah usulan perubahan materi pengajaran di sekolah agar bisa menghadirkan kesempatan kerja dan pekerjaan baru.

Materi pengajaran tidak lagi menitikberatkan pada masalah teknis, tetapi keterampilan mempelajari hal-hal baru dan menumbuhkan minat belajar (hlm 346).

Referensi:

SAWIDJI WIDOATMODJO.
Koran Kompas, 10 November 2018