Peningkatan Mutu Guru Berbasis Zonasi

Persoalan guru Indonesia serius, baik kuantitas maupun kualitasnya. Namun, pembenahan yang dilakukan pemerintah belum serius memandang guru sebagai salah satu aspek penting yang strategis dalam membenahi sistem pendidikan nasional.

Padahal, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Rapat Koordinasi Penataan Guru dan Tenaga Kependidikan di Jakarta beberapa waktu lalu meyakini jika masalah guru ini tertangani dengan baik, sekitar 70 persen urusan pendidikan di Indonesia ini selesai (SKH Kompas, 28 November 2018).

Bangsa ini butuh guru yang kreatif, cerdas, inovatif, serta bekerja berdasarkan panggilan jiwa sehingga pikiran dan hatinya akan tergerak memajukan bangsa melalui pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menawarkan perubahan tata kelola guru berbasis zonasi.

Komitmen pada penyediaan guru berkualitas dilakukan dengan membenahi rekrutmen guru serta peningkatan kompetensi guru melakukan proses pembelajaran di dalam kelas.

Untuk itu, kebijakan zonasi sekolah yang awalnya untuk mereformasi penerimaan peserta didik baru juga diikuti dengan pendistribusian dan peningkatan mutu guru berbasis zonasi.

Kemdikbud akan mulai sistem pelatihan guru dengan mengoptimalkan kelompok kerja guru atau KKG di tingkat SD, serta musyawarah guru mata pelajaran atau MGMP di tingkat SMP dan SMA/SMK (SKH Kompas, 28 November 2018).

Anggaran untuk mengikutkan guru pelatihan oleh Kemdikbud digeser untuk KKG dan MGMP yang ada di 2.578 zonasi (SKH Kompas, 28 November 2018).

Dengan demikian, kegiatan peningkatan mutu guru supaya mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas di kelas, dapat diikuti semua guru dan dilakukan secara rutin.

Anggaran peningkatan mutu guru sebesar Rp 840 miliar pada 2019 difokuskan untuk memperkuat KKG dan MGMP yang perlu ditata ulang berbasis zonasi.

Dengan langsung menyasar para guru yang tergabung dalam kelompok di zonasi, peningkatan mutu guru diharapkan benar-benar berdampak pada mutu belajar siswa.

Anggaran peningkatan mutu guru sebesar Rp 840 miliar pada 2019 difokuskan untuk memperkuat KKG dan MGMP yang perlu ditata ulang berbasis zonasi (SKH Kompas, 28 November 2018).

Guru jadi dapat berbagi pengetahuan dan praktik baik di antara sesama guru. Pertemuan bisa dilakukan seminggu sekali. Nanti, ada guru inti yang diseleksi ketat dan sudah dilatih instruktur nasional untuk mengembangkan kegiatan di KKG dan MGMP.

Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab dalam peningkatan mutu guru di daerah. Salah satunya dengan melaksanakan kegiatan peningkatan mutu yang rutin di tingkat daerah yang melibatkan banyak guru.   

Anggaran pelatihan guru dari Kemdikbud dengan mendatangkan guru dari berbagai daerah membuat jumlah guru yang disasar terbatas dan tidak berkelanjutan. Anggaran juga tersedot untul biaya transportasi (SKH Kompas, 28 November 2018).

Peningkatan mutu guru di tingkat KKG dan MGMP serta pendistribusian guru berkualitas berbasis zonasi jadi sistem peningkatan mutu pendidikan yang harus dipastikan berjalan dan berkelanjutan untuk mempercepat pemerataan mutu pendidikan yang masih timpang.

Belum berdampak

Pelatihan guru yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai belum banyak membantu guru dalam meningkatkan kemampuan mengembangkan pembelajaran yang berkualitas di kelas. Pelatihan yang diberikan dari pemerintah masih banyak bersifat sosialisasi dan ceramah pada guru dirasakan belum efektif untuk menjadikan guru sosok yang mumpuni sebagai pendidik.

Model pelatihan guru dalam bentuk bimbingan teknis yang mengundang guru dari berbagai daerah ke suatu tempat seringkali tidak efektif. Anggaran pelatihan berbiaya tinggi, namun dampaknya pada hasil pembelajaran siswa tidak signifikan. Salah satunya terlihat dari survei Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang masih belum memuaskan (SKH Kompas, 28 November 2018).

Terkait kebijakan soal pelatihan guru lewat KKG dan MGMP dengan kucuran dana besar, hendaknya Kemendikbud melakukan tes kepada siswa, bukan guru, sebelum mengucurkan dana pelatihan sebesar Rp 840 miliar. Tes bisa dilakukan oleh Kemendikbud bekerja sama dengan lembaga lain (SKH Kompas, 28 November 2018).

Pola pelatihan guru disesuaikan dengan hasil tes tersebut sesuai dengan spesifikasi masalah. Seusai pelatihan, siswa diuji kembali untuk mengukur tingkat perubahan yang terjadi.

Terkait MGMP, kepemimpinannya ditentukan oleh dinas pendidikan, meskipun di sebagian tempat ditentukan melalui mekanisme pemilihan. Hal ini yang mengakibatkan ada praktik setor upeti kepada kepala daerah agar terpilih sebagai ketua MGM (SKH Kompas, 28 November 2018).

Guru dalam menjalankan profesinya masih minim didampingi, mulai dari peningkatan kompetensi, pengembangan karir, perlindungan, hingga kesejahteraan. Pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan organisasi guru sebagai mitra strategis untuk meningkatkan mutu guru dan pendidikan. Sebab, peningkatan mutu guru pastinya jadi salah satu komitmen organisasi profesi guru. Pelatihan guru secara mandiri oleh organisasi juga dikembangkan.

Keberadaan MGMP selama ini sebagian besar masih dianggap sebatas untuk administrasi kepentingan pendataan. Karena itu, pengurus MGMP dipilih guru yang senior dan berstatus instruktur nasional lalu disetor ke dinas pendidikan dan kebudayaan, agar bisa masuk ke Sistem Informasi Manajemen Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (SIM-PKB), Kemendikbud.

Selama ini, kegiatan MGMP tergantung ada program dari Kemdikbud atau dinas pendidikan setempat. Karena itu, kebiajakan untuk mengoptimalkan MGMP didukung untuk memutakhirkan kemampuan guru.

Sebaiknya MGMP diberikan otonomi untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan materi, metode, teknik, dan strategi pembelajaran. Adapun Kemdikbud menyiapkan anggaran untuk setiap program MGMP tersebut (SKH Kompas, 28 November 2018).

Ada banyak hal umum yang juga mesti dipahami guru, tentang strategi mengajar, menulis buku, hingga memanfaatkan teknologi digital untuk pembelajaran. Materi seperti ini untungnya bisa didapatkan dari bergabung di organisasi guru.

Rencana Kemdikbud memberikan diklat guru berdasarkan sistem zonasi dinilai strategi yang cemerlang, walaupun sangat terlambat. Sebab eksistensi MGMP selama ini banyak menuai kritikan, di antaranya adalah masih banyaknya MGMP yang keberadaannya justru tidak menjadi solusi persoalan pembelajaran sesama guru.

Sangat minim adanya sharing pengalaman metode pembelajaran, strategi pembelajaran, diskusi tentang pembaruan-pembaruan pendidikan. Bahkan MGMP sering dibuat anekdot menjadi Makan Guyon Minum Pulang.