Sastra: Musuh Bebuyutan

Kau tahu kenapa aku memanggilmu datang? Aku kira sudah terlalu lama kau sembunyi. Sudah waktunya beraksi lagi. Ya, aku tahu, perjalanan menuju kota ini memang berat. Melelahkan. Tapi tenang. Aku tak akan mengecewakanmu. Begini. Aku mendapat musibah berat dan besar. Ini semua karena Marda. Dia yang membuat aku jadi begini. Aku ingin melihat dia juga menderita. Agar kau paham duduk perkaranya, aku ingin ceritakan tentang sesuatu kepadamu.

Ya, malam itu, karena lelah setelah seharian mengikuti rapat di kantor, tanpa terasa aku tertidur di kursi ruang kerja rumahku. Tak lama kemudian, aku bermimpi. Aku melihat lima burung bertengger di atas meja kerjaku. Suasana begitu mencekam. Aku tidak suka dengan keberadaan mereka. Ingin mengusir mereka. Tapi tidak bisa. Tubuhku tidak bisa digerakkan. Seperti ada kekuatan gaib mengunci tubuhku. Hanya mulut dan dua bola mataku saja yang bisa digerakkan. Akhirnya, kerena tidak bisa berbuat apa-apa, aku membiarkan mereka.

Kemudian aku merasakan suatu keanehan. Rumahku yang biasanya ramai dengan suara Noni, tiba-tiba menjadi sepi. Padahal, hari masih siang. Bahkan, detak jam pun tak terdengar. Ke mana suara-suara pergi, juga di mana Noni berada, aku tidak tahu. Aku pun menaruh curiga. Jangan-jangan burung-burung itu telah memangsa Noni. Sebab mereka sama sekali tak tampak seperti burung yang biasa aku lihat di sawah-sawah, atau di ranting-ranting pohon, atau di kabel-kebal listrik, atau di TV, atau di tempat lainnya. Tubuh memang kecil, tapi paruh mereka panjang dan besar. Mereka memiliki daun telinga lancip, ekor panjang, bulu-bulu hitam legam dan mata merah seperti bola api yang membara. Aku pun berprasangka, mereka burung kiriman dan memiliki kekuatan gaib. Langsung aku menuduh Marda. Ya, hanya dia musuhku. Dia yang selalu berusaha mencelakai aku dengan cara-cara halus (sihir/ilmu hitam). Untung tubuhku sudah diberi mantra penangkal sihir sama Pakde. Kalau tidak, aku pasti mampus pada serangan sihir pertama.

Karena Noni tidak muncul-muncul dalam waktu lama, aku pun meyakini dia memang sudah dimangsa burung-burung itu. Tapi, anehnya, aku tidak bersedih. Bahkan aku merasa senang. Merasa bebas. Lalu, aku mendengar suara melontarkan pertanyaan: Buat apa memiliki kebebasan kalau tubuhmu tidak bisa bergerak? Aku tidak tahu dari mana suara itu berasal. Pertanyaan itu benar sekali. Aku pun berpikir keras, mencari cara agar tubuh bisa bergerak. Pada saat berpikir itulah aku mendengar salah satu dari burung itu berkata: Salam, Tuan. Dia menyapaku. Terus terang aku terkejut. Bukan karena suara burung itu, melainkan karena burung itu bisa bicara. Dan itu semakin melengkapi keyakinanku, burung-burung itu bukanlah burung sembarangan. Burung-burung itu adalah burung kiriman. Pasti Marda yang mengirim. Lalu burung itu bicara lagi.

“Saya Ababil, dan empat kawan saya ini adalah panglima-panglima saya. Pasukan saya banyak.”

Betapa kagetnya aku saat burung itu menyebut nama. Membuat aku bertanya-tanya, apakah benar burung kecil dengan bentuk tubuh aneh ini adalah Ababil? Kami pun terlibat dalam percakapan panjang.

“Untuk apa kamu datang ke sini?” tanyaku.

“Mengambil jantung Anda,” jawab burung yang mengaku sebagai Ababil itu. Melototlah mataku. Aku pun bepikir kalau mereka juga sudah melahap jantung Noni. Gawat, batinku.

“Untuk apa jantungku kamu ambil?” tanyaku lagi.

“Untuk diberikan kepada anjing-anjing neraka. Mareka sangat senang memakan jantung manusia macam Anda ini,” jawab burung itu.

“Kamu pasti bergurau,” tegasku.

“Tidak, saya tidak sedang bergurau,” tegas burung itu.

“Siapa yang memberi perintah kepadamu?” tanyaku.

“Tuhan,” jawabnya lugas.

“Tuhan yang mana?” tanyaku mencecar.

“Tuhan Anda, Tuhan saya, Tuhan sekalian alam,” jawabnya lagi.

“Mustahil Tuhan memberi perintah semacam itu kepadamu. Kamu bukan malaikat, nabi, atau rasul. Kamu cuma penghuni udara yang jika mati akan menjadi debu dan tak dikenang lagi,” tandasku.

“Kenapa mustahil? Dia Maha Pencipta dan Maha segala-galanya. Dia bisa memberi perintah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, termasuk kepada saya. Saat ini, saya adalah utusan-Nya,” tegas burung itu.

“Kamu bukan utusan. Kamu hanya burung kiriman, burung jadi-jadian,” tegasku.

“Saya bukan burung kiriman, apalagi jadi-jadian. Saya burung yang telah diberi kekuatan membunuh dan menghancurkan oleh Tuhan. Jangankan mengambil jantung Anda, membakar Anda saya juga bisa,” tegas burung itu.

“Kalau kamu memang sudah mendapatkan perintah, pasti ada alasan kenapa Tuhan menyuruhmu mengambil jantungku,” tanyaku.

“Tentu. Tuhan menyuruh saya dan kawan-kawan saya mengambil jantung Anda karena Anda sudah terlampau jahat sebagai manusia,” jawab burung itu.

“Jahat bagaimana? Kamu mengada-ada,” tanyaku.

 

“Saya tidak mengada-ada. Tuhan juga tidak mengada-ada. Coba Anda ingat-ingat. Sudah berapa luas tanah yang Anda beli untuk dikuasai. Anda ancam para petani dan tanah mereka Anda beli dengan harga murah. Anda banguni tanah-tanah itu dengan rumah-rumah untuk dijual lagi. Tak hanya itu, Anda juga telah mengkhianati kepercayaan masyarakat yang telah memilih dan menaruh harapan kepada Anda. Banyak mata menumpahkan air mata gara-gara mulut Anda. Banyak jiwa menderita gara-gara ketidakpedulian Anda. Apa Anda sudah lupa dengan semua itu? Bukan hanya orang miskin dan tidak berdaya yang Anda sakiti, tapi juga burung-burung sawah teman kami. Anda itu jahat sekali sebagai manusia,” oceh burung itu.

“Aku tidak paham apa maksudmu,” tukasku.

“Anda tidak paham atau pura-pura tidak paham? Atau jangan-jangan otak Anda sudah tidak bisa lagi digunakan dengan baik,” sergahnya.

“Baiklah, aku paham. Tapi, apa hubungannya dengan jantungku?” aku menyerah dan balik bertanya.

“Saya juga tidak tahu. Saya hanya menerima perintah. Kalau Anda ingin tahu jawabannya, jantung Anda harus saya ambil dulu. Setelah itu, Anda mati dan bisa menghadap Tuhan dan silakan bertanya sepuasnya,” jawab burung itu.

“Ah, kamu semakin ngawur bicaranya. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Cepat pergi dari sini. Dasar burung jadi-jadian. Pasti yang mengirim kamu Marda, kan? Tukang sihir yang rumahnya di ujung jalan itu? Dia itu memang selalu iri kepadaku karena dulu kalah saingan denganku waktu nyalon jadi anggota dewan kota. Sekarang dia mencalonkan diri kembali. Jadi, karena takut kalah lagi, dia mengirimmu untuk mencelakaiku. Benar begitu, kan?” tandasku.

“Anda yang ngawur, Tuan. Saya tidak kenal Marda! Sekali lagi, dengar baik-baik, saya ini adalah utusan Tuhan,” hardik burung itu.

“Sudahlah jangan mengelak,” timpalku.

“Sepertinya Anda sukar diyakinkan, dan rasanya percuma juga saya bicara panjang-lebar lagi hanya untuk meyakinkan Anda. Sebaiknya saya dan kawan-kawan melakukannya sekarang,” tegas burung itu.

“Kamu mau melakukan apa?”.

“Sudahlah, diam saja mulut Anda.”

Burung-burung itu lantas terbang. Berputar-putar di atas kepalaku. Kemudian, dengan kecepatan penuh, mereka menukik ke dalam dadaku secara bersamaan. Tak lama, mereka membawa jantungku pergi. Itulah yang membuat aku terperanjat bangun karena merasa ada yang hilang di dadaku. Mataku terbuka dan segera disambut dengan suara dering ponsel. Staf di kantorku yang menelepon. Dia mengabarkan ada yang membakar rumah-rumah yang baru aku bangun; rumah-rumah yang sudah menghabiskan biaya miliaran rupiah; rumah-rumah itu sudah dibeli orang. Gara-gara kabar itulah jantungku jadi sakit. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus mendekam di rumah sakit mahal ini. Aku telah mengalami kerugian besar.

Begitulah ceritanya. Apa kau sudah paham sekarang? Jadi, apa yang menimpaku ini tak lain tak bukan ialah gara-gara perbuatan Marda, musuh bebuyutanku.

Sekarang, tugasmu ialah membuat Marda menderita. Tapi, jangan sampai terbunuh. Kau mau apakan dia, terserah. Ingat, jangan sampai terbunuh. Bukankah kau sudah mahir melakukan hal-hal macam itu? Nah, begitu. Jadi, segera laksanakan perintahku ini. Kalau berhasil, ada imbalan besar untukmu. Tak usah khawatir. Ini foto Marda. Kau ingat baik-baik. Jangan sampai salah orang.

Asoka, 2018

Referesi: Agus Salim, Media Indonesia, 14 Oktober 2018

Agus Salim, lahir di Sumenep pada 18 Juli 1980. Ia tinggal di Jalan Asoka, Madura, Jawa Timur. Buku kumpulan cerpen tunggal perdananya berjudul Lima Cerita dalam Satu Malam di Bawah Bulan Gerring.