Pendidikan dalam Spektrum Kemanusiaan

Nadia Murad terpilih—bersama Dr Denis Mukwege—untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 2018. Perempuan berusia 25 tahun ini mengalami penderitaan tak terbayangkan bersama dengan para perempuan Yazidi lainnya sebagai budak seks di Mosul, ibu kota kekhalifahan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).

Singkat cerita, Nadia berhasil melarikan dan menyelamatkan diri berkat bantuan satu keluarga Muslim dari Mosul. Kini, sebagai Duta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk para penyintas perdagangan manusia dan aktivis anti- kekerasan, Nadia menyuarakan penderitaan kelompok etnis Yazidi dan kemenangannya, ”NIIS ingin merampas kehormatan kami, tetapi justru merekalah yang kehilangan martabat kemanusiaan mereka.”

Penganugerahan Nobel Perdamaian menyuguhkan panggung dunia yang mempertontonkan dua titik kemanusiaan: kenadiran dan kemuliaan. Banyak dari peraih Nobel Perdamaian adalah manusia-manusia yang telah melalui lembah kekelaman dan penderitaan sebagai akibat kekejaman kelompok manusia lain.  Kenadiran sekelompok manusia dalam bentuk perang, genosida, terorisme, dan perusakan lingkungan hidup meluluhlantakkan rasa kemanusiaan dan mematahkan harapan kebanyakan orang, tetapi sekaligus juga memberikan ruang ujian bagi segelintir orang yang menunjukkan kekuatan prima dan bersinar di tengah kekelaman.

Kekejaman tiada tara telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, tetapi tidak berhasil menghentikan perjalanan anak manusia melalui lembah kekelaman, laksana Nabi Ayyub yang memenangi tahap demi tahap penderitaannya. Manusia yang bisa berdamai dengan penderitaan dan melampauinya kemudian menyerukan perdamaian dalam teladan kehidupannya. Dalam kata-kata Prof Armada Riyanto, ”Damai dan duka derita merupakan perjalanan mendaki hidup manusia. Yang sungguh mulia.”

Seperti gandum dan ilalang yang bertumbuh bersama, kebaikan dan kejahatan selalu hadir dalam ruang dan waktu yang sama. Ketika tindakan para penjarah merobek rasa kemanusiaan di tengah kepiluan tragedi Palu- Donggala, tindakan heroik Anthonius Gunawan Agung yang menuntaskan tanggung jawab sebagai petugas ATC telah menyelamatkan penumpang Batik Air dan mengorbankan nyawanya sendiri. Peran pendidikan adalah menabur benih gandum dan mengantar gandum untuk menjadi kuat di tengah impitan ilalang sehingga pada masa panen gandum akan menjadi berkat bagi umat manusia.

Ilalang masa depan

Dalam banyak penderitaan manusia, lembah kekelaman diciptakan oleh manusia lain seperti dalam perang dan tindakan kekerasan. Lembah kekelaman juga bisa terjadi karena kegagalan manusia memahami alam semesta dan mengatur laku hidupnya sesuai tanda-tanda alam. Dalam bukunya, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Yuval Noah Harari mengajak pembaca untuk bersiap terhadap perubahan tantangan kehidupan.  Dalam prediksi Harari, menuju abad-abad selanjutnya, bencana kelaparan, perang, dan penyakit tidak akan lagi menjadi ancaman yang lebih serius daripada ambisi manusia untuk menjadi tuhan melalui kemajuan bioteknologi.

Agenda besar abad ini adalah kreasi dan kehancuran melalui rekayasa genetika, cyborg, dan benda-benda non-organik. Bill Maris—Presiden Google Ventures—dan Peter Thiel—pendiri PayPal—membiayai proyek-proyek manusia super yang bertujuan memperpanjang hidup manusia, bahkan mengalahkan kematian. Pada sisi sebaliknya, proyek manusia super juga meniadakan benih-benih yang kurang unggul melalui pemindahan seleksi alam pada eksperimen laboratorium.

Pertanyaannya adalah untuk apa hidup manusia diperpanjang? Apakah manusia akan berbahagia dengan perpanjangan ini atau malah akan memperpanjang penderitaan (bagi diri sendiri ataupun orang lain)?  Maka, proyek-proyek lain pun dikerjakan untuk menemukan formula kebahagiaan melalui rekayasa biologi molekuler.

Kebahagiaan manusia

Menurut Aristoteles, pendidikan (seharusnya) membantu manusia mencapai kebahagiaan. Peluncuran agenda besar abad ini tidak bisa lagi dihentikan.

Kecemasan masyarakat awam tentunya muncul ketika memikirkan potensi kehancuran kemanusiaan. Harari menghibur pembaca agar tidak perlu panik. Perjalanan proyek manusia super masih belum akan berakhir tragis seperti dalam film-film sci-fi versi Hollywood, melainkan menjadi proses historis langkah demi langkah peleburan manusia dengan robot dan komputer. Pada titik inilah pendidikan bisa berperan dalam spektrum kenadiran dan kemuliaan hidup.

Ilmu pengetahuan berkembang sebagai upaya manusia untuk menaklukkan alam semesta. Manusia bisa menggunakan ilmu pengetahuan menuju titik baik atau titik buruk. Alfred Nobel menemukan dinamit dan kemudian menyesali penggunaan temuan ini untuk kehancuran manusia sehingga dia menulis wasiat tentang penggunaan kekayaannya untuk Penghargaan Nobel dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, kesusastraan, dan perdamaian (kemudian bidang ekonomi ditambahkan).

Pendidikan kontemporer di banyak negara saat ini berlomba- lomba memacu anak didik untuk menjadi unggul dalam bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM) dalam ambisi manusia untuk menjadi unggul, menguasai dunia, dan menaklukkan alam semesta. Tentunya, tidak salah mengajar anak untuk menjadi unggul dalam bidang-bidang itu karena memang manusia dikaruniai kemampuan untuk mengembangkan diri dan bidang-bidang itu telah membantu umat manusia untuk memperbaiki kualitas hidup.  Formulasi STEM di sekolah-sekolah seyogianya tidak mengabaikan seni, budaya, dan kerohanian agar anak didik tidak tersesat dan kehilangan kemanusiaannya.

Ketika laju ambisi manusia untuk mengunggulkan dirinya melalui ilmu pengetahuan tak bisa lagi dihentikan, pendidikan bisa mengajak anak terus mengisi kebermaknaan hidup agar umat manusia tak terjerumus dalam lembah kekelaman keterasingannya.  Kebahagiaan terletak pada penggunaan kebebasan yang memerdekakan manusia dari dirinya sendiri dan, tentu saja, membawa berkah bagi manusia lain.

Inspirasi seorang Nadia Murad—dan peraih Nobel Perdamaian lain—yang berhasil berdamai dengan penderitaan, mengangkat diri mereka dari lembah kepahitan, dan mengajak umat manusia mendaki jalan kemuliaan, kiranya bisa menjadi semacam peta jalan kebebasan manusia bagi peserta didik dalam spektrum kemanusiaan.

Referensi:  Anita Lie. Kompas, 18 Oktober 2018.