Perdalam Seni Sastra: “Segulung Kertas Kecil di Ubi Rebus”

Dia duduk mencangkung di pelataran kamp itu. Bersama puluhan tahanan lain. Menunggu pembebasan. Bersandal jepit. Angin dan terik matahari menyentakkan debu ke mukanya. Dia tak peduli. Di antara pahanya, terapit buntalan sarung pelekat yang luntur dibasuh waktu. Di dalamnya ada sehelai baju tetoron biru lengan pendek, kenang-kenangan dari kawan yang dibuang entah ke penjara mana, beberapa tahun lalu. Juga sepotong celana pendek hitam yang ditemukannya hanyut, dan dijangkaunya dari arus ketika kerja paksa di Sungai Silau.

Itulah harta yang dia punya setelah tiga belas tahun ditendang dari kurungan yang satu ke bui yang lain. Kalau tamsilnya lubang jarum, lubang yang dia lalui sepanjang hidupnya adalah lubang jarum berduri. Berapi.

Setelah disekap sehari-semalam, dia, dan beberapa orang, dijajarkan di tubir Sungai Ular, tiga belas tahun lalu. Kedua tangan mereka disilangkan di belakang, diikat pelepah pisang. Dibentak supaya menghadap ke sungai. Disusul dentuman mesiu yang menghambur, menerjang sampai jauh. Menerabas pohon-pohon karet yang jadi saksi, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Peluru mendesing panas di kupingnya. Jantungnya gemuruh, tetapi dia tak terluka.

Sekelebat sempat dia dengar degup dan desis peluru menghantam kepala kawan di sebelah. Dari sarang otak itu, darah memercik ke bahunya, dan tubuh itu tumbang menimpa bahunya. Dia biarkan tubuh itu menindih. Berdua mereka tercebur, dilarikan air yang memerah. Yang satu sempat menggelepar memusar air, saat ajal menjemput, kemudian dibalun arus entah ke mana. Sementara dia menenggelamkan diri, menyerah pada air hendak dibawa ke mana saja. Sesekali, dia mengapungkan hidung untuk menyambung nyawa. Dia digiring air, dan mendamparkannya di mulut muara.

Seminggu, dia hanya makan buah dan dedaunan. Menenggak air sungai. Suntuk akal dan pikirannya. Dia putuskan berjalan kaki menyusuri tepi sungai menuju kampung kelahirannya. Kedua orangtuanya, seluruh sanak-saudara, menyambutnya sebagai orang yang sudah mati, hidup kembali. Pada saat yang sama, dia juga dianggap sebagai hama yang harus segera dihalau karena hanya akan memancing bencana. Tak lama kemudian, keajaiban itu benar-benar berubah dan menjalar jadi berita buruk. Sepasukan tentara dan tukang jagal mencium keberadaannya. Dia diburu. Dibekuk untuk kedua kalinya. Layaknya tikus yang tertangkap basah, dia dilemparkan ke sel di markas Angkatan Darat. Dioper ke penjara kabupaten, dan akhirnya disekap di kamp di Jalan Gandhi. Ya, Gandhi…. Bagaimana mungkin sebuah nama penyebar anti-kekerasan, di kota ini, telah berubah menjadi pusat pembungkaman kalau bukan pembinasaan manusia….

Selama belasan tahun, ratusan, kalau bukan ribuan manusia, disekap di situ. Sedikit yang bebas. Kebanyakan dipindahkan ke kamp-kamp yang lebih kecil atau penjara di kota lain. Ada pula yang dibuang ke Jawa, ke Nusakambangan, sebelum dicampakkan ke Pulau Buru. Banyak yang menemukan ajal karena kelaparan dan penyakit. Makanan begitu jauh. Cuma kematian yang begitu akrab di sini. Kematian yang disengaja oleh yang berkuasa ataupun tidak.

Komandan kamp membacakan nama-nama tahanan yang dibebaskan menjelang siang hari itu. ”Ulong Bahari!” Nama lelaki ajaib itu setengah diteriakkan dari daftar dengan entakan. Yang punya nama bangkit. Melangkah tanpa melihat kiri kanan.  ”Seminggu sekali kau wajib lapor ke sini! Paham kau ..!?” tentara itu menghardik lagi.

Bahari mendekat pada yang punya suara, yang punya kuasa atas dirinya, menerima secarik kertas, dan memisahkan diri dari kawan-kawan pesakitan lain yang tetap duduk mencangkung di tanah yang berdebu. Dari tangan tentara itu, dia menerima surat pembebasan yang huruf-hurufnya bisa membuat kepala manusia normal jadi batu. Tak ditulis sejak kapan dia ditahan. Cuma disebutkan dia tidak terlibat G30S. Tiga belas tahun dikurung, baru hari ini dia dinyatakan tidak bersalah. Darahnya tersirap menatap kertas itu. Akan tetapi, dia pikir tiga belas tahun disekap sudah terlalu lama untuk mempermasalahkan ketidakadilan yang bodoh ini. Yang dihadapi adalah kecerobohan, kesewenang-wenangan, dengan ujung senjata sebagai pembenaran. Terlalu mahal sebuah kebebasan yang baru saja diberikan dengan bentakan untuk dipersoalkan.

Dia tinggalkan pekarangan kamp jahanam itu. Perasaannya campur aduk antara nikmat kebebasan dan kewajiban akan sumpah setia yang harus dituntaskan. Sejak masih meringkuk di dalam kamp, dia sudah bertekad: suatu ketika, setelah bebas, dengan jalan bagaimanapun, dia harus berangkat ke ujung Sumatera. Naik bus ”Sibualbuali”, kalau angkutan orang Batak itu memang masih ada, menuju Padang Sidempuan. Berganti bus ke Bukittinggi. Tegak lurus ke selatan, menuju Lahat, Bandar Lampung, dan mendarat di Tanjung Karang. Di kota terakhir ini, dia harus menemui seorang sersan mayor. Dengan hati yang memendam cinta sekeras karang, dia akan meminta surat pernyataan dari tentara itu, yang menegaskan bahwa ”yang bertanda tangan di bawah ini tidak keberatan” jika dia, Ulong Bahari, menikah dengan tahanan perempuan yang jadi istri gelapnya, dulu.

Sebagai tentara yang pekerjaannya hanyalah menista mereka yang lemah, maka dengan surat itu dapat ditafsirkan dia telah berpahala memberikan kebebasan kepada seorang perempuan untuk memilih jalan hidup. Begitulah jalan pikirannya sehingga dengan enteng dia menuliskan surat itu. Lagi pula, dengan begitu, dia akan terbebas dari kewajiban memberi nafkah. Keharusan yang tidak dia pedulikan lagi, yang mungkin juga sengaja dia lakukan, untuk menyiksa perempuan itu selama bertahun-tahun. Perempuan yang dia tendang setelah memuaskan birahi terkutuk pada tubuh yang dilumpuhkan. Namun, seperti kepercayaan orang baik-baik, Tuhan tak pernah terlena, kecuali mengulur waktu untuk memberikan kemenangan bagi korban. Seperti sekarang ini. Pada seorang perempuan beranak satu pula.

Perempuan itu jauh panggang dari api untuk sudi diperistri secara gelap-gelapan oleh sang sersan mayor yang menjadi komandan kamp Gandhi. Namun, apa mau dikata, dia harus berdamai dan menyerah pada keteguhan hatinya untuk menyelamatkan diri dan putrinya, yang berusia dua bulan, yang ikut dijebloskan ke dalam kamp. Dia dan anaknya ditempatkan di kamar yang dulunya adalah dapur. Berimpitan dengan tahanan perempuan lain.

Halawiyah namanya. Sibarani marganya. Menjelang akhir 1964, setelah menikah, suaminya memperoleh kesempatan belajar metalurgi di Moskwa. Menurut rencana, setelah menetap mantap di sana, dia akan balik menjemput istri yang ditinggal selagi hamil muda.

Malang tak pernah dicari. Akan tetapi, datang sesukanya. Bencana politik mengubah segala. Insinyur metalurgi itu tak bisa kembali ke Tanah Air. Sementara istri yang ditinggalkan menemukan nasib yang kesengsaraannya tak terjangkau imajinasi manusia biasa. Ayahnya ditangkap, rumahnya yang bertanda gambar palu-arit diserbu massa, dibakar, jadi abu, luluh dengan tanah. Halawiyah diarak, diteriaki sebagai perempuan jalang, punya anak gampang. Makian paling rendah untuk seorang perempuan baik-baik.

Dia dan anaknya yang masih merah melarikan diri ke kota kecil, sekitar seratus kilometer jauhnya. Pada hari-hari penuh kegelapan dan peradaban negeri ini berada pada titik nol, di mana nyawa dengan mudah melayang karena tuduhan komunis, keluarga yang ketempatan menolak untuk menampungnya lebih lama. Apa kata orang, jadi tuan rumah untuk perempuan jalang kodah, kata orang Melayu. Rumah keluarga itu juga sempat dilempari massa yang menelan hasutan bahwa komunis dan perempuan yang punya anak haram harus dibinasakan.

Halawiyah kembali lagi ke kota besar di mana dia lahir. Tanpa tujuan. Tak sesiapa pun yang ingin menerimanya. Suatu hari, dia diringkus di tepi jalan bersama sejumlah gelandangan. Ketika diperiksa, dia dikepung, diberondong berbagai pertanyaan, dan akhirnya nasibnya kandas di kamp Gandhi walaupun dia bukan apa-apa, apalagi bayi yang digendongnya.

Semasa masih belia, sedang ranum-ranumnya, kalau melintas, Halawiyah adalah bunga bakung yang putih cerlang-cemerlang. Di kalangan aktivis muda, kecantikannya jadi mimpi. Semua ingin mendekat, merebut hatinya. Mungkin ratusan angan-angan yang melayang-layang ingin menerbangkannya. Namun, hanya pemuda yang kemudian jadi insinyur metalurgi di Moskwa itu yang berhasil menawan hatinya.

Digiring, didesakkan berimpit-impitan ke dalam kamp konsentrasi Gandhi, sekilas dia melihat Ulong Bahari yang menempati salah satu sel khusus untuk lelaki. Ulong adalah seniman peniup bangsi yang kemahirannya melantunkan seruling menjadi cita- cita semua remaja walau gagal memukau hati Halawiyah.

Seisi kamp tahu belaka, pada hari-hari tertentu, perempuan kita ini dibawa dengan mengendarai Jeep oleh sersan mayor, komandan kamp itu. Halawiyah dengan sadar mengikutkan nafsu birahi tentara itu. Sebab, dia sadar kejahatan yang memanfaatkan ketakutan seseorang perempuan seperti dia merupakan bagian dari taktik militer untuk merendahkan derajat korban serendah-rendahnya. ”Aku, anakku, harus hidup…!” teriaknya dalam hati.

Dalam keadaan bujangan dilemparkan ke dalam kamp itu, jantung Ulong tersirap kembali melihat perempuan yang dulu mekar di hatinya, tetapi gagal dipetiknya. Sel lelaki dengan sel khusus perempuan dipisahkan sebidang tanah yang dimanfaatkan sebagai lapangan bola, tempat para tahanan bisa menghibur diri dengan bola yang dibuat dari kain rombeng. Lapangan itu memisahkan. Cuma klinik yang terletak di bagian depan kamp yang mempertemukan. Tiap Kamis, tahanan diizinkan berobat ke situ. Kasih sayang. Atau sebutkanlah cinta akan menemukan tumpuannya sendiri. Dan penyakit, yang sungguhan, ataupun yang pura-pura, membuka jalan pertemuan di klinik itu.

Ulong Bahari masih sendiri. Sementara politik dan kekejian telah memisahkan Halawiyah dari suami yang jadi insinyur metalurgi di benua jauh. Yang sudah muskil untuk dinanti. Sang suami sudah tak melihat celah untuk pulang, dan memilih kewarganegaraan tempat dia belajar, dan menikah dengan perempuan Rusia.

Anak negeri boleh tak acuh. Akan tetapi, hati nurani dunia menjerit melihat ratusan ribu yang terbunuh, puluhan ribu dibuang belasan tahun, dan banyak yang kehilangan tanah air. Dunia internasional, juga dunia maya, menekan penguasa negeri yang bebal untuk menghormati seruan hati nurani manusia. Harapan akan kebebasan pun menjalar seperti api ke mana-mana.

Pada hari Kamis, hari kunjungan ke klinik, Ulong Bahari duduk di bangku panjang menunggu panggilan. Dia hampiri Halawiyah, dan dia tawarkan sekepal ubi rebus yang dia bawa dari selnya. ”Untuk anakmu,” katanya mengedipkan mata. Sebuah kode bahwa di dalam gumpalan ubi itu terselip segulung surat.

Kembali ke dalam selnya, menyendiri di pojok, Halawiyah seperti membuka kelopak mutiara, hati-hati mengeluarkan segulung kertas kecil dari gumpalan ubi rebus itu. Dia eja di dalam hati: ”Begitu hari pembebasan datang, dengan jalan bagaimanapun, Abang akan berangkat ke Tanjung Karang. Si bedebah itu sudah hampir lima tahun dipindahkan ke sana. Dengan baik-baik, aku akan meminta dia menuliskan pernyataan bahwa kau sudah tak ada ikatan apa pun dengan dia. Doakan Abang.”

___________________

Martin Aleida, lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, akan merayakan hari lahir yang ke-75, Desember 2018. Lebih dari 50 tahun menghabiskan usianya sebagai mahasiswa, wartawan, dan penulis di Jakarta. Cerpennya, ”Tanah Air”, dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016. Ia juga pernah memperoleh penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas.

___________________

Ilustrator: Daniel Nugraha, menempuh pendidikan desain grafis di Institut Teknologi Bandung (ITB), menjadi pendamping kelas Kamissketsa di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, juga mengajar di Kelas Cat Air Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Daniel tinggal di Pondokgede, Jakarta. Telah mengikuti berbagai pameran berskala internasional, terutama untuk sketsa dan cat air.

Referensi: Surat Kabar Harian Kompas, 21 Oktober 2018