Mengenal Istilah-Istilah & Fenomena dalam Ilmu Jiwa

1. RUMINASI (Rumination)

Bagi sebagian orang, melenyapkan kenangan pahit adalah sesuatu yang jauh lebih rumit. Ada yang justru secara sadar mengingat terus menerus kenangan pilu hanya demi disimpan lagi di dalam memori dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan. Dalam kajian psikologi, kecenderungan tersebut dinamakan ruminasi. 
Ada beberapa varian mengenai karakteristik ruminasi yang dijelaskan melalui berbagai teori psikologi. Susan Nolen-Hoeksema, misalnya, seorang profesor psikologi dari Yale University, Amerika, memiliki sebuah teori yang dinamakan Response Styles Theory (RST) dan kerap diklaim paling empirik dalam menjelaskan fenomena ruminasi.
Berdasarkan teori RST, sebagaimana juga tertuang dalam salah satu riset Nolen-Hoeksema tahun 2008, Rethinking Rumination, ruminasi dijelaskan sebagai bentuk refleksi diri yang maladaptif karena ia menghasilkan pandangan baru yang justru menambah atau memperpanjang durasi stres hingga depresi seseorang.

Ruminasi akan membuat seseorang terus-menerus memikirkan masa silam yang pahit sehingga memicu perasaan tertekan. Kedua, ruminasi menghalangi kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah secara efektif. Sebaliknya, mereka kerap berpikir pesimistis dan fatalistis. Ketiga, ruminasi kelak akan mengganggu perilaku instrumental seseorang hingga ke tahapan yang depresif. 
Nolen-Hoeksema juga berpendapat bahwa seseorang yang mengidap ruminasi kronis pada akhirnya akan kehilangan dukungan dari jejaring sosial, sebab ia menihilkan hasil konsultasi dengan pihak terkait. Dengan demikian, konsekuensinya adalah gejala depresi akan berevolusi menjadi lebih parah dan, seperti yang dijelaskan di awal, tentunya juga akan memperpanjang durasinya. 
“Ruminasi mengacu pada kecenderungan memikirkan berulang kali tentang penyebab, faktor situasional, dan konsekuensi dari pengalaman (emosional) negatif seseorang,” tulisnya di riset tersebut. 
Sedikit berbeda dengan teori RST yang dikemukakan Nolen-Hoeksema, Edward Watkins, seorang profesor psikologi dari University of Dexter, memiliki pemahaman tersendiri mengenai ruminasi yang ia rangkum dalam Goal Progress Theory (GPT). 
Dengan mengacu kepada Zeigarnik Effect (suatu penjelasan tentang mengapa seseorang lebih mudah mengingat sesuatu yang belum selesai daripada sebaliknya), ruminasi secara spesifik dikonsepkan dalam teori RST sebagai respons terkait kegagalan mencapai suatu tujuan. Mekanismenya sama: memikirkan berulang-ulang berbagai faktor penyebab kegagalan tersebut. 
Varian lain mengenai ruminasi, seperti terangkum dalam Roadmap to Rumination dari National Center for Biotechnology Information (NCBI), antara lain adalah: Rumination on Sadness, Stress Reactive Rumination, Self-Regulatory Executive Function, Conceptual-evaluative & Experiential, hingga Rumination & Self-Regulation.
Kendati memiliki berbagai varian dan penjelasan spesifik yang berbeda, ruminasi tetap merupakan salah satu gejala utama penyebab kecemasan (anxiety), depresi, dan stres akut. Riset yang dilakukan oleh Nolen-Hoeksema di American Psychological Association (APA) pada tahun 2000 menunjukkan bahwa sepanjang 2,5 tahun terakhir, sebanyak 137 orang mengalami depresi akibat ruminasi. 
Mereka memiliki karakteristik umum yaitu kerap mengonsumsi alkohol berlebih, memiliki keinginan untuk bunuh diri, serta punya kesulitan amat besar untuk memaafkan diri sendiri.

Ruminasi Antara Pria dan Wanita

Jika Anda pernah mengalami patah hati yang sedemikian pahit, lalu sering mengingat hal itu alih-alih coba mengalihkannya, bisa jadi Anda seorang ruminator atau mengidap ruminasi.

Pada dasarnya, ruminasi merupakan bentuk refleksi diri agar tidak kembali mengalami kepahitan yang sama. Hanya saja, ruminasi akut akan membuat orang akan terobsesi untuk terus memikirkan hal tersebut, kendati tidak lagi mengalami lagi kejadian yang dulu.
Alhasil, pikiran semacam ini dikuasai oleh emosi negatif nyaris dalam berbagai hal. Seorang pengidap ruminasi diibaratkan seperti seekor hamster yang berlari di atas lingkaran berputar tanpa jeda. Ruminator akan terjebak dan terus menerus memikirkan kenangan pahit tanpa mampu menemukan jalan keluar. Kondisi tersebut tentunya memperparah situasi yang sudah terjadi. Selain karena tidak menemukan solusi, beban di pikiran juga makin berlipat. Semua menjadi sia-sia. 
Seorang ruminator sejatinya dapat meminta bantuan dari non-ruminator untuk berkonsultasi terkait masalah yang mereka hadapi. Biasanya cara ini berhasil, tapi hanya sejenak saja. Ruminasi tidak pernah benar-benar hilang hanya karena bantuan orang lain. Dan ketika ia muncul lagi, para ruminator akan menarik diri dan kembali memikirkan masalah tersebut. 
Nolen-Hoeksema mengatakan, seperti dikutip Bridget Murray Law dari APA dalam esainya yang berjudul ‘Probing The Depression-Rumination Cycle’: 
“Mereka akan kembali frustrasi, menarik diri, dan bahkan memusuhi orang-orang yang telah mencoba membantu mereka. Mereka akan berpikir: ‘Kenapa orang-orang itu menelantarkan saya, kenapa mereka begitu kritis terhadap saya?’” 
Dalam konteks gender, merujuk kesimpulan riset dalam NCBI pada 2013, ‘Gender Differences in Rumination: A Meta-Analysis’, ruminator pria dan wanita memiliki sebuah perbedaan mendasar. Saat ruminasi, pria akan lebih fokus kepada emosinya daripada perasaan sedih yang muncul. Mereka akan berusaha mengalihkannya dengan hal-hal destruktif, mulai dari konsumsi alkohol, narkotika, hingga yang ekstrem yaitu bunuh diri
Sementara wanita, emosi negatifnya akan tersalurkan dengan menangis dan terus menerus terjebak kepada perenungan. Faktor inilah yang kemudian membuat wanita lebih mudah mengalami depresi daripada laki-laki. Adapun perbedaan tersebut, menurut spekulasi Nolen-Hoeksema di riset yang berbeda, terjadi karena faktor budaya.

Menghentikan Ruminasi

Tentu saja tidak mudah menghadapi ruminasi. Sebab sekalipun seseorang sudah melakukan konsultasi, ruminasi bisa saja muncul suatu saat jika dipicu oleh sekian hal tertentu. 

Riset tahun 2015 yang dilakukan Nolen-Hoeksema bersama rekannya dari Stanford University, Sonja Lyubomirsky, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghentikan ruminasi. 

  • Lakukan tindakan-tindakan kecil untuk mengalihkan perhatian
  • Menekan pikiran negatif serta ekspektasi berlebih terhadap sesuatu atau seseorang.
  • Lepaskan hasrat untuk meraih tujuan yang tidak menyehatkan atau yang tidak mungkin tercapai. Alihkan pikiran untuk meningkatkan harga diri.
  • Pahami apa saja pemicu yang membuat dirimu merasa tertekan dan berusaha untuk tenang ketika perasaan tersebut muncul.
  • Pikirkan matang-matang mengenai skenario terburuk dari tindakanmu.
  • Belajar dari kesalahan masa silam.
  • Terapi + Olahraga + Meditasi.

Edward A. Selby, seorang psikolog dari Rutgers University, dalam esainya berjudul ‘Rumination: Problem Solving Gone Wrong’ yang tayang di Psychology Today juga memiliki tips menarik dalam mencegah munculnya ruminasi, yaitu: lakukan segala sesuatu yang menyenangkan buatmu. Membaca buku, nonton film, bermain, nongkrong dengan teman, atau jalan-jalan. Apapun, selama kamu merasa senang melakukannya. 

Ada dua jenis permainan yang ia rekomendasikan: teka-teki silang dan sudoku. Ia menulis: 

“Permainan Ini bagus karena mengharuskan kamu untuk terus secara aktif memikirkan teka-tekinya dan bukan masalahnya. Ruminasi adalah kebiasaan buruk, jadi kamu harus melakukan kegiatan secara teratur yang dapat mendistraksimu dari kebiasaan tersebut. Dan jika kamu ingin menghentikan ruminasi, mengalihkan perhatian sekali atau dua kali saja tidak cukup. Lakukan sesuatu yang menyenangkan!”

 

2. Distimia, Depresi yang Menetap Bertahun-tahun

Sebagian penderita distimia menghindari pembicaraan soal permasalahannya karena takut dianggap lemah.

Para pakar psikiatri belum menentukan penyebab pasti distimia

Sejak remaja, Katy—bukan nama sebenarnya—sudah sering menangis tanpa sebab yang jelas. Di sekolah, ia mengalami kesulitan konsentrasi dan lantas dicap sebagai anak bermasalah. Tak jarang pula perempuan ini merasa kehabisan energi, kepercayaan diri, dan merasa tidak mampu bersosialisasi dengan teman-temannya. Masih belum bisa menentukan jelas problem yang menghantuinya, Katy sudah kadung dilabeli buruk oleh mereka.

“Orang-orang melihatku sebagai ratu drama. Aku merasa sendirian. Pikiranku seperti terpenjara,” aku Katy.
Masalah yang dihadapinya terus berlangsung sampai dewasa. Performa kerjanya merosot lantaran ia sulit fokus dan mengingat sesuatu. Berkali-kali pula ia gagal membina relasi romantis karena hal ini.
Pernah sekali waktu ia menjajal antidepresan, tetapi hal tersebut hanya membuat dirinya merasa semakin buruk. Baru pada usia 32, tahun 2016, ia menemui terapis yang mendiagnosisnya mengidap distimia. 
Kisah Katy ini dimuat dalam sebuah artikel di Lancashire Post. Sekilas, bila orang tak mengetahui cerita kehidupan Katy sejak muda, ia akan dipandang hanya sedang mengalami hari yang apes sehingga mood-nya memburuk. Sebagian orang yang mengalami hal serupa Katy juga tak jarang mengabaikan kondisi psikologis seperti ini. Padahal, bermacam-macam masalah lebih besar telah menanti bila mereka tak segera mengidentifikasi pemicu perubahan emosinya dan mencari jalan keluarnya.

Distimia, Depresi ‘Lunak’ yang Bisa Berujung Bahaya

Distimia, atau yang juga dikenal sebagai persistent depressive disorder (PDD) merupakan salah satu gangguan mental yang tercantum dalam buku panduan psikiatri dari AS, Diagnostic and Statistical Manual (DSM). Hal ini merujuk pada kondisi saat seseorang mengalami depresi berkepanjangan, minimal selama dua tahun berturut-turut pada orang dewasa atau setahun pada anak-anak dan remaja.

Dilansir MayoClinic, penderita distimia akan kesulitan merasa bahagia sehingga kerap dipandang sebagai pemurung. Gejala-gejalanya sebagaimana yang dialami Katy, ditambah gangguan tidur, kehilangan nafsu makan atau justru sebaliknya, mudah marah, sering merasa bersalah saat mengingat masa lalu, dan merasa terus kehilangan harapan.
Distimia pada orang-orang di bawah usia 21 bisa berasosiasi dengan risiko tinggi gangguan kepribadian dan penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol. Tidak hanya itu, kendati tergolong depresi ‘lunak’, distimia bisa mendorong munculnya depresi berat pada saat bersamaan atau yang dikenal sebagai double depression. Dalam keadaan depresi berat, bukan tidak mungkin seseorang memiliki pemikiran menyakiti atau bunuh diri.

Akar Masalah Distimia

Para pakar psikiatri belum menentukan penyebab pasti distimia atau depresi. Ada kemungkinan hal ini terkait faktor genetis, tetapi pada sebagian penderita distimia tidak ditemukan rekam jejak keluarga dengan masalah sejenis. Ada pula kemungkinan fungsi abnormal di otak yang menjadi akar masalah distimia.

Penjelasan lebih lanjut mengenai faktor gangguan di otak yang terkait distimia diberikan Brett Wingeier, CTO dan salah satu penggagas Halo Neuroscience, dalam Forbes.

Ia mengatakan, saat terjadi momen manis, otak manusia akan mengeluarkan senyawa kimia yang mengatur perasaan bahagia. Begitu pun saat terjadi peristiwa pahit, sistem otak akan mengaktivasi senyawa kimia terkait perasaan sedih. Dalam keadaan normal, fungsi otak ini berjalan seimbang. Namun, pada pengidap distimia, sistem yang mengatur perasaan buruk akan jauh lebih aktif dan sistem pengatur mood tak merespons dengan baik kondisi-kondisi menyenangkan.
Selain dua kemungkinan ini, distimia juga disebut-sebut dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa buruk dalam relasi atau pekerjaan yang pernah dialami seseorang, penyakit fisik, serta efek obat.

Masih Disepelekan

Masalah depresi masih menjadi momok bagi sebagian orang. Alih-alih menceritakan hal ini kepada orang terdekat atau tenaga medis, mereka memilih untuk bungkam. Hal ini merupakan pilihan yang memperburuk situasi mental mereka menurut Dr. David Mischoulon, psikiater di Massachusetts General Hospital.
Dalam Harvard Health Publishing ia menyatakan, “Kesalahan mereka adalah mereka percaya bahwa perasaan buruk yang terjadi hanyalah situasional dan akan hilang sendiri. Mereka tidak nyaman membicarakan perasaannya dan takut dipandang lemah oleh orang lain.”
Stigma buruk terhadap pengidap depresi juga bisa diakibatkan oleh minimnya pengetahuan orang-orang mengenai penyakit mental. Mereka yang tidak pernah mengalami hal tersebut akan sulit memahami pengalaman pengidap depresi dan menunjukkan empati.
Misalnya saat pengidap depresi berulang kali mengonsumsi antidepresan. Cukup jamak anggapan bahwa pengidap depresi adalah pecandu obat dan kerap menyalahgunakan hal ini. Saat terjadi generalisasi, orang yang benar-benar menderita penyakit mental dan mesti melakukan terapi dengan obat-obatan sesuai anjuran dokter pun akan terimbas mendapat cap buruk semacam ini

Infografik Distimia

Referensi:  Eddward S Kennedy, Tirto.