Inklusivitas Isu Bahasa

Pada saat menulis kolom bahasa, seorang pemerhati bahasa sesungguhnya tidak sedang mengurusi gejala kebahasaan dalam masyarakat sebagai kasus tunggal belaka. Boleh jadi, misalnya, dia mengoreksi imbuhan yang salah tempat, pemaknaan kata yang tidak logis, pencampuradukan unsur slang dalam wacana formal, dan lain-lain. Tampak sangat partikular.

Orang perlu mengetahui bahwa si penulis sebetulnya sedang mengajak publik bersumbangsih kepada sendi-sendi struktur kebangsaan dari perspektif identitas kultural. Kepedulian kepada bahasa nasional merupakan hak sekaligus kewajiban setiap warga negara selaku penutur dan pemilik bahasa yang melekat pada jati dirinya.

Orang yang kurang berminat pada isu kebahasaan secara tak sengaja mungkin menjaga jarak dengan anggapan bahwa perkara itu bukan urusannya. Apalagi kalau dia berpendapat bahwa itu bukan bidang keahliannya. Cara pandang semacam itu sepantasnya dikikis dan digantikan dengan kesadaran baru bahwa persoalan bahasa adalah urusan semua penuturnya dengan satu kekecualian dalam arti sempit, yaitu bahwa memang ada orang yang mendalami ilmu bahasa secara akademis yang disebut linguis. Ia memiliki kepakaran pada level yang memungkinkan dirinya membantu publik merumuskan masalah beserta argumentasi dalam kritik kebahasaan. Kendati demikian, dia tidak memiliki privilese monopolistis atas pembakuan tertentu. Bahasa adalah buah konsensus.

Bahasa ialah entitas kebudayaan yang menopang setiap progres menuju konstruksi peradaban utuh suatu komunitas atau bangsa. Apalagi, ketika bangsa itu berinteraksi dengan bangsa lain, dan relasi tidak selalu terjadi dalam suasana damai. Dalam hubungan perdagangan, sains, dan teknologi, umpamanya, suatu bangsa tidak lepas dari iktikad mendominasi bangsa lain dengan menyebarkan ideologi tertentu sebagai strategi nasionalnya demi target ekonomi, politik, dan militer, yang pada gilirannya mengukuhkan hegemoninya atas bangsa lain. Karena itu, lingua franca merupakan isu elitis dalam catatan sejarah regional ataupun global.

Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca di Nusantara. Pengaruh serta manfaatnya kita nikmati ketika Republik Indonesia mendeklarasikan kedaulatan sebagai negara kesatuan. Tak ada kesulitan besar untuk memutuskan bahasa nasional kala itu, bagaikan keajaiban sejarah!

Pada zaman modern, bahkan sampai sekarang, bahasa Inggris merupakan lingua franca pada cakupan global. Keuntungan bangsa Anglo-Saxon termasuk Amerika dari keunggulan bahasa bukan sekadar prestise identitas nasional dan kebudayaan, tetapi juga hegemoni ekonomi dan politik. Satu dekade awal Orde Baru, Amerika berusaha melakukan penetrasi budaya melalui buku saku (paperback) yang dijual murah di Indonesia, namun gagal lantaran kendala bahasa. Cuma segelintir intelektual yang mengenyam transformasi pengetahuan dari program tersebut dan itu pun sempat memicu debat tentang skandal ”cendekiawan dan sastrawan yang menjadi agen penetrasi ideologi-politik yang diagendakan oleh CIA”. Kelas sosial menengah ada yang mengoleksi ensiklopedia terbitan Amerika, tapi hanya buat dijadikan pajangan di ruang tamu.

Kini Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bersaing lewat produk budaya populer memperebutkan generasi milenial. Kaum remaja bergairah mengadopsi kosakata Korea demi pergaulan. Studi bahasa Korea dibuka di berbagai perguruan tinggi. Bagaimana dengan reputasi bahasa kita di mancanegara? Pelajar dan mahasiswa bertanggung jawab atas ketahanan nasional masa depan sehingga perlu menyadari pentingnya memperjuangkan reputasi bahasanya di kancah global.

Referensi:  KURNIA JR, Surat Kabar Harian Kompas, 28 Oktober 2018