Hidup Sehat, Waspadai Penyakit Skizofrenia dan Alzheimer

1.  Mewaspadai Penyakit Skizofrenia

Perhatikan kalimat yang disampaikan Janice Jordan, penyandang skizofrenia: ”Saya menyandang skizofrenia sudah lebih dari 25 tahun. Sampai lupa kapan tidak diganggu oleh halusinasi dan waham. Dimulai waktu saya masuk kampus, tiba-tiba ’si pengendali’, saya bisa lihat dan dengar dia—tapi orang lain tidak—menyedot seluruh waktu dan energiku.”

Janice Jordan adalah penyandang skizofrenia, namun bekerja sebagai penyunting teknis dan menulis buku puisi tentang pengalamannya. Ia melanjutkan, ”Ia menghukumku, berteriak memaki-makiku. Ia tidak bisa cerita kepada siapa pun karena takut dibilang gila. Sangat membingungkan dan ia jadi kacau karena banyak suara di kepalanya. Sepertinya ia mulai membaik ketika bersedia memperoleh bantuan.

Sebelumnya ia menolak kenyataan bahwa ia mengalami gangguan jiwa. Ia pikir ia cuma ’beda’ saja.”

Tidak ada yang salah

Mengetahui diri sendiri atau anggota keluarga menyandang skizofrenia dapat sangat mengejutkan. Orangtua merasa sangat sedih dan bersalah, atau anggota keluarga merasa malu dan saling menyalahkan. Sesungguhnya, skizofrenia bukan akibat kesalahan siapa pun.

Skizofrenia adalah gangguan otak yang menyebabkan gangguan dalam kemampuan menilai realitas. Diperkirakan ada sekitar 1 persen dari populasi yang menyandang skizofrenia, umumnya mulai diserang di usia muda (15 tahun hingga akhir 20-an). Ada aspek genetis yang memengaruhi, tetapi masih diperlukan banyak penelitian untuk dapat menjelaskannya dengan lebih komprehensif.

Stres atau tekanan hidup tidak menyebabkan skizofrenia, tetapi dapat memicu ataupun memperburuk gejala. Demikian pula penyalahgunaan obat, apalagi ada obat-obatan tertentu yang menghadirkan gejala mirip skizofrenia.

Intervensi medis dan psikososial sangat diperlukan dan akan lebih membantu jika dapat diberikan sedini mungkin.

 Sayangnya, banyak orang sering terlambat mencari pertolongan. Individu dinilai ’aneh’, tetapi keluarga tidak paham bahwa itu merupakan gangguan jiwa. Agresi dianggap biasa pada remaja atau disangka muncul akibat penyalahgunaan obat.

Mungkin pula keluarga sudah menduga ada gangguan jiwa, tetapi menyangkalnya, khawatir memperoleh stigma negatif dari lingkungan. Sementara itu, individu takut dianggap aneh atau gila sehingga tidak bercerita apa pun. Atau ia sangat yakin yang dilihat atau didengar adalah nyata, jadi tidak menganggap ada masalah dengan diri.

Keluarga, orang terdekat, dan penyandang skizofrenia akan memperoleh manfaat maksimal dari intervensi jika mengakses layanan sedini mungkin, bekerja sama dengan baik dengan tim medis dan psikososial, dan jika perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk dapat menghadirkan kenyamanan bagi penderita.

Do and do not

Apabila anggota keluarga dalam episode gangguan, yang harus dilakukan adalah tetap bersikap tenang dan menurunkan distraksi atau gangguan. Misalnya dengan mematikan TV atau menurunkan volume suara radio. Berbicara dengan nada rendah, perlahan, tenang, dan jelas,  misalnya: ”Yuk kita duduk dan bicara.”

Kita menyampaikan apa yang kita amati: ”Sepertinya kamu takut/bingung/marah. Bisakah kamu ceritakan apa yang membuatmu merasa begitu?” Jika perlu, ulangi pertanyaan atau pernyataan , menggunakan kata dan kalimat singkat-sederhana yang sama.

Hindari sikap tegang, menyalahkan, atau yang menempatkannya seperti pesakitan: ”Kamu benar-benar seperti anak kecil!”, ”Stop mondar-mandir begitu, tolong duduk tenang!”. Sikap tenang dari keluarga sangat penting karena suasana lingkungan yang emosional dapat membuatnya makin gelisah.

Apabila ia terkesan tidak mendengarkan, tidak perlu sakit hati, kemudian berteriak, mengkritik, atau menantangnya. Akan baik jika ia bersedia sukarela diajak ke psikiater atau rumah sakit. Jika tidak, mungkinkah ada kenalan, teman, atau saudara yang dapat membujuknya untuk pergi? Berikan pilihan misalnya: ”Kamu mau ke rumah sakit bareng ibu atau diantar kakak?”

Ketika terganggu oleh halusinasi atau wahamnya, ia mungkin menjadi agresif atau melakukan kekerasan. Dalam situasi demikian, kita berusaha tidak panik dan melakukan yang terbaik untuk dapat melindungi diri sendiri, orang lain, dan ia yang mengalami gangguan.

Individu perlu dimotivasi dan terus dipantau agar minum obat secara teratur. Ketika ia telah tenang seusai menjalani intervensi baik untuk menghadirkan kegiatan rutin terstruktur yang sekaligus dapat membantunya bertanggung jawab mengurus diri dan lebih mandiri.

Hindari mengatakan: ”Kamu bau banget, sih, disuruh mandi saja tidak mau”. Katakan, misalnya, ”Kalau tidak mandi, tuh, kita akan bau. Yuk buat perjanjian kita mandi tiap hari”.

Keluarga perlu menunjukkan sikap konsisten untuk meminimalkan kebingungan dan menghadirkan rasa aman. Penghargaan positif untuk hal-hal kecil yang dilakukannya akan membantu meningkatkan rasa percaya diri. Setelah sakit, mungkin relasi sosialnya menjadi berkurang. Agar ia tidak kesepian, keluarga atau orang-orang terdekat seyogianya tetap melibatkannya dalam aktivitas bersama seperti nonton film, berwisata, atau makan di luar rumah.

Bergabung dengan komunitas

Tentu masih banyak kebingungan pada keluarga dan orang dekat. Silakan membaca berbagai panduan yang dapat diakses bebas di internet. Salah satunya ”Learning about Schizophrenia: Rays of Hope” (2003), manual untuk keluarga dan caregiver yang diterbitkan oleh Schizophrenia Society of Canada.

Pembaca akan memperoleh banyak manfaat dengan bergabung dengan komunitas. Ada Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia yang memiliki simpul di beberapa daerah (KPSI, informasi dapat diakses di internet). 

Barangkali ada pula support group dari kelompok-kelompok pemeluk agama/keyakinan lain yang saya belum tahu.

Mari saling mendukung untuk meringankan beban. Dengan saling mendukung, individu dan keluarga yang hidup dengan skizofrenia dan kita semua akan dapat menjalani kehidupan yang bahagia, damai, berkualitas, dan bermakna. Teman saya, Osse Kiki, seorang penyintas skizofrenia, memberikan judul bagi sharing-nya, ”Berdamai dengan Skizofrenia”.

2.  Perhatikan Bahaya Serangan Penyakit Alzheimer

Penyakit demensia alzheimer atau sering disebut alzheimer merupakan penyakit khas orang usia lanjut. Semakin tua seseorang, risiko mengalami alzheimer semakin tinggi. Namun, gaya hidup tidak sehat dan masalah psikologis, seperti kesepian, meningkatkan risiko seseorang terkena alzheimer.

Alzheimer adalah suatu kondisi gangguan kognitif yang progresif. Kelainan ini ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan kemampuan berpikir dan berbicara, hingga perubahan perilaku. Umumnya, pengidap alzheimer berusia di atas 60 tahun.

Secara sederhana, penyakit alzheimer adalah penyakit yang mempercepat penuaan di otak. Siapa pun kita pasti akan tua, tetapi masalah cepat atau lambatnya, itu relatif. Penyakit alzheimer mempercepat penuaan di otak.

Faktor risiko penyakit demensia alzheimer mirip dengan penyakit jantung. Orang yang mengalami hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan merokok berisiko terkena penyakit jantung. Yang tidak baik buat jantung, juga tidak baik buat otak. Tetapi, ada tambahan faktor risiko lainnya, yaitu perasaan kesepian (loneliness)..

Perasaan kesepian yang dimaksud tidak terbatas pada seseorang yang tinggal sendirian. Seseorang yang tinggal bersama anggota keluarganya yang banyak, sering pula merasa kesepian atau tidak diperhatikan. Perasaan kesepian jangka panjang meningkatkan risiko seseorang terkena alzheimer.

Orang yang mengalami kesepian imunitasnya menurun, fungsi organ tidak optimal, jaringan sel saraf menurun, stimulasi tidak ada, dan berpikir negatif. Kondisi ini turut menyebabkan penurunan fungsi kognitif.

Berdasarkan Laporan Alzheimer’s Disease Indonesia, pada 2015, ada 1,2 juta warga Indonesia mengalami demensia. Angkanya diprediksi naik menjadi 2,2 juta jiwa pada 2030 dan 4 juta jiwa pada 2050.

Deteksi dini

Belum ditemukan obat untuk menyembuhkan pengidap demensia alzheimer secara total. Meski demikian, laju penurunan fungsi kognitifnya bisa diperlambat. Untuk mencapainya, faktor risiko perlu dihindari dengan pola makan dan gaya hidup sehat serta deteksi dini penyakit.

Deteksi dini mencegah penyakit alzheimer ditemukan dalam kondisi parah. Pengidap alzheimer mulanya mengalami gangguan kognitif. Jika dibiarkan, lambat laun bisa terjadi gangguan perilaku, seperti mengamuk tidak jelas, emosi, hingga halusinasi.

Permasalahannya, gejala lupa pada orang tua sering dianggap sepele dan wajar sehingga sering ditemukan alzheimer dalam kondisi parah. Biasanya diketahui pada fase gangguan prilaku, ini sudah sangat telat. Lupa bukan bagian dari proses penuaan normal. Artinya, kalau sudah lupa, segera deteksi dini.

Direktur Regional Asia Pacific Alzheimer Disease International menjelaskan deteksi dini diperlukan untuk menjaga kualitas hidup pengidap alzheimer. Semakin cepat orang mendapat diagnosis, kualitas hidupnya akan semakin baik.

Salah satu cara untuk memperlambat penurunan fungsi otak pada pengidap alzheimer adalah melakukan aktivitas yang menyenangkan. Aktivitas menyenangkan akan membuat otak tetap aktif sehingga penurunan fungsi kognitif bisa diperlambat.

Bukan sekadar beraktivitas, tetapi aktivitas yang menyenangkan. Ada yang mengatakan main sudoku bisa menjadi alternatif. Namun, kalau orangtua tidak menyukai sudoku, fungsi kognitifnya tetap menurun. Yang terpenting adalah ada kesenangan dalam mengerjakannya.

KATA KUNCI

Yang tidak baik buat jantung, juga tidak baik buat otak. Tetapi, ada tambahan faktor risiko lainnya, yaitu perasaan kesepian.

Lupa bukan bagian dari proses penuaan normal. Artinya, kalau sudah lupa, segera deteksi dini.

Referensi: Kompas, 29 September 2018.