Revitalisasi Pelajaran Sejarah

SEJARAH, menurut para bijak, selalu ditulis para pemenang. Sejarah menghadirkan pihak protagonis dan antagonis. Mereka yang menang menjadi pahlawan dan yang kalah jadi pecundang.

Begitulah sejarah Indonesia selama ini ditulis dan disebarkan melalui kurikulum di sekolah. Tafsir atas Peristiwa 30 September 1965, misalnya, menghadirkan banyak versi yang menjadikannya tragedi paling rumit yang pernah terjadi di Indonesia.

Pemerintahan Orde baru menahbiskan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, untuk mengenang jasa para pahlawan revolusi yang telah mengorbankan nyawa demi mempertahankan Pancasila agar tidak takluk oleh ideologi komunisme.

Namun, 1 Oktober juga menjadi pintu masuk bagi tragedi lain sepanjang 1965-1966, dengan ratusan ribu nyawa masyarakat sipil dihilangkan karena dituduh sebagai anggota PKI.

Dampaknya dalam memahami sejarah kemudian, antara lain, pelarangan buku-buku yang membahas marxisme dan komunisme sebagai ideologi yang haram untuk dipelajari sehingga tidak mengherankan jika kemudian generasi pasca-1965 lebih banyak hanya mengenal sejarah sebagai salah satu ‘ilmu pengetahuan resmi versi pemerintah’.

Tumbangnya Orde Baru mengubah peta sejarah 1965. Berbagai versi sejarah–baik dari sisi korban maupun pelaku–bermunculan sebagai wacana tandingan dari sejarah 1965 versi Orde Baru. Penghentian pemutaran film Pengkhianatan G 30 S PKI adalah contoh interupsi I sejarah 1965 versi pemerintah Orde Baru. Pascaperiode terseebut, dalam konteks pendidikan, guru-guru seperti kehilangan pedomman kuat bagi pengajaran sejarahh tentang Peristiwa 30 September 11965.

Materi pelajaran tentang pperistiwa tersebut pun berubah-ubaah dalam Kurikulum 2004, KTSP 20066, dan kini Kurikulum 2013.

Mengasah Imajinasi

Menurut Irwanto (2008), pelajaran sejarah tidak hanya memiliki ranah ilmu pengetahuan, tetapi juga makna subjektif berbangsa. Selain sebagai ilmu yang bekerja secara kritis, sejarah juga bermuatan ‘makna’ yang dipegang dan nilai yang dianut suatu masyarakat pemilik sejarah itu. Oleh sebab itu, ada ‘sejarah Amerika’ atau ‘sejarah Jepang’. Sementara, kita pun memiliki ‘sejarah Indonesia’.

Sayangnya, pelajaran sejarah dalam sistem pendidikan di Indonesia ialah pelajaran ‘kelas dua’ jika dibandingkan dengan pelajaran lainnya seperti matematika, IPA, dan bahasa Indonesia.

Pelajaran sejarah tidak dianggap sebagai prioritas kognisi anak didik. Tingkat kesulitannya pun tidak perlu sampai diadakan les atau belajar tambahan pelajaran sejarah. Peserta didik tidak perlu secara khusus mendalami pelajaran sejarah.

Dengan sedikit rajin membaca, murid akan dianggap tahu dan paham sejarah. Ditambah dengan keterbatasan akses terhadap buku-buku sejarah yang beragam tetapi bermutu–terutama di daerah pelosok–harapan akan munculnya para murid yang menyukai pelajaran sejarah seolah jauh panggang dari api.

Di sekolah para murid dengan mudah menyebutkan cita-cita masa depan mereka dan jarang diajak untuk bertanya tentang siapa leluhur, asal usul kakek dan nenek moyang mereka. Seolah sekolah hanya merupakan medan proyeksi masa depan peserta didik dan mengabaikan kesempatan untuk melakukan refl eksi masa lalu mereka sendiri.

Padahal, dengan mempertanyakan masa lalu mereka sendiri, pintu masuk untuk belajar sejarah bisa ditemukan. Dengan mengajak peserta didik mengenal masa lalu, pada saat yang sama mereka juga diajak untuk melatih imajinasi akan masa lalu itu sendiri.

Mengasah imajinasi menjadi sangat penting dalam pelajaran sejjarah. Seperti dinyatakan Abimartono (2010), hasil pembelajaran sejarah dengan model penjelasan guru semata menghasilkan skor ketuntasan tidak mencapai 50%.

Kesulitan yang dialami guru ialah bagaimana menampilkan peristiwa-peristiwa sejarah di dalam kelas dengan tujuan dapat disaksikan langsung oleh para siswa.

Selama ini siswa hanya memperoleh fakta sejarah melalui buku-buku cerita sejarah sehingga daya imajinasi siswa untuk menangkap cerita sejarah tersebut mengalami kesulitan.

Membangun Nasionalisme

Sejarah ialah soal identitas bangsa-negara. Dari titik inilah kesadaran peserta didik untuk mencintai negara dan membanggakan jasa para pahlawan perlu dibangun.

Dalam konteks Hari Kesaktian Pancasila, sejarah 1965 harus menguatkan keyakinan bahwa Pancasila ialah roh kebangsaan-kenegaraan kita.

Karena itu, setiap gerakan yang coba menginterupsi Pancasila harus ditanggapi dan disikapi dengan kritis. Dalam lingkup yang lebih kecil, sejarah adalah juga menyangkut hal-hal dalam lingkup lokal; sejarah leluhur/keluarga, kampung, desa, kabupaten, provinsi, dan sebagainya.

Aspek-aspek lokal ini yang bisa dikukuhkan untuk menumbuhkan pengetahuan-pengetahuan anak didik tentang masa lalu linkungan di sekitar mereka. Dengan mencintai hal-hal atau wilayah yang dekat dengan peserta didik, mereka diharapkan akan mencintai wilayah yang lebih luas.

Kurikulum pelajaran sejarah bisa ditambahi dengan sejarah-sejarah lokal meskipun sumbernya masih berupa cerita lisan.

Pengetahuan akan sejarah lokal dapat dijadikan terobosan untuk mengenalkan siswa dengan sejarah Indonesia dan dunia. Guru menampilkan diri sebagai motivator dan dokumentator dari sejarah-sejarah lokal yang dekat dengan kehidupan murid-muridnya.

Selama ini sejarah lokal dengan mudah diidentifi kasi sebagai mitos atau cerita rakyat yang tidak terbukti kebenarannya, bahkan dianggap sebagai fiksi belaka.

Padahal, cerita rakyat yang disampaikan secara turun-temurun ini bisa dijadikan pintu masuk untuk mencintai pelajaran sejarah.

Menurut Gus Dur (2010), sejarah lisan pun dapat dijadikan sumber sejarah meskipun perlu integritas dan pertanggungjawaban dari peneliti sejarah.

Untuk sumber cerita lisan ini, kita sangat kaya dengan sejarah perjuangan tokohtokoh lokal. Pada peserta didik, nasionalisme perlu ditanamkan dengan pola partikular-universal.

Menanamkan nasionalisme secara universal akan mudah goyah manakala siswa tidak memiliki fondasi yang kuat tentang nasionalisme yang partikular; mencintai asal usulnya, mencintai desanya.

Belajar dari banyaknya versi sejarah Tragedi 1965, penulisan peristiwa hari ini dapat dijadikan sebagai warisan generasi setelah kita.

Anak didik kita harus dibiasakan untuk mengabadikan peristiwa dengan tulisan. Melihat, menelusuri, menanyakan, mengkritisi, memahami, dan mencatatnya sebagai peristiwa sejarah karena catatan-catatan inilah yang akan menjadi harta karun bagi generasi berikutnya.

Referensi: Junaidi Abdul Munif, Media Indonesia, 1 Oktober 2018.