Anggaran Peningkatan Mutu Guru; Education Budget Should Go to Improving Staff

sman1lendah.sch.id, 14 September 2018, BERITA DALAM DUA BAHASA

Central Statistics Agency (BPS) data shows that 15 year olds and above are spending more years in school on average. The figure has increased from 7.84 years in 2015 to 8.10 years in 2017. However, problems persist in increasing the quality of education, especially in terms of teachers’ quality.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk berusia lebih dari 15 tahun terus meningkat, dari 7,84 tahun pada 2015 menjadi 8,10 tahun pada 2017. Namun sejumlah masalah masih menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan, terutama terkait kualitas guru.

The average national score for the teachers’ competence exam (UKG) is 53.02, below the predetermined minimum competence standard of 55. Some 27 provinces have average UKG scores below the minimum standards. Only seven provinces have scores above the minimum standards, namely West Java, Bangka Belitung Islands, Bali, East Java, Jakarta, Central Java and Yogyakarta.

Berdasarkan hasil uji kompetensi guru (UKG), perolehan rata-rata nasional masih 53,02 (Kemdikbud, 2015). Nilai tersebut di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yaitu 55,0. Sebanyak 27 provinsi memiliki rata-rata nilai hasil UKG di bawah standar kompetensi minimal. Hanya ada tujuh provinsi dengan nilai hasil UKG  di atas standar, yaitu Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Bali, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.

The Education and Culture Ministry’s research and development agency head, Totok Suprayitno, said that a change in mindset would be necessary as many still believed that improvements of education quality was determined by infrastructure availability. Proper budget planning that prioritizes the improvement of teachers’ and students’ capabilities, as well as ensuring the availability of textbooks was more important to improve quality of education.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengatakan, perlu ada perubahan  pola pikir yang menganggap peningkatan mutu pendidikan dinilai berdasarkan ketersediaan infrastruktur. Perencanaan alokasi anggaran yang memprioritaskan peningkatan kemampuan guru, siswa, dan penyediaan buku adalah keniscayaan.

“Changing mindsets is difficult. Oftentimes, constructing education infrastructures is more preferred as it shows quicker results and involves easier assessment,” Totok said in Jakarta on Thursday (13/9/2018).

“Mengubah pola pikir memang lebih rumit. Sering kali pembangunan infrastruktur pendidikan lebih diminati karena hasilnya cepat tampak dan bisa dihitung secara sederhana,” kata Totok  di Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Totok said regional governments as education policymakers should map out local schools’ needs. Basic physical infrastructure should be provided immediately. This includes classrooms, desks, chairs, toilets, libraries and laboratories. However, secondary infrastructure such as air conditioners, internet connection and school beautification are not urgent as they are not directly related to education quality.

Totok mengatakan, salah satu pendekatan yang diberikan kepada pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan adalah  melakukan pemetaan kebutuhan sekolah. Sarana fisik mendasar harus segera dipenuhi. Contohnya adalah ketersediaan ruang kelas, meja, kursi, toilet, WC, perpustakaan, dan laboratorium. Namun, sarana tambahan seperti pendingin udara, aliran internet, dan fitur hiasan sekolah tidak perlu segera dipenuhi karena tidak terkait langsung dengan mutu pembelajaran.

“The budget can instead be used for teachers’ training through teachers’ assemblies (MGMP) and teachers’ working groups (KKG). [The budget can also be used] for ensuring the availability of interesting textbooks and reading materials for students at the school library,” Totok said.

“Dana itu (bisa) digunakan untuk membiayai pelatihan guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru). Juga untuk memastikan buku teks maupun bacaan menarik bagi siswa tersedia di perpustakaan sekolah,” kata Totok.

The government is committed to implementing 12-Year Compulsory Education in 2022. To support the program, the central government has set aside 20 percent of the state budget, which is Rp 444 trillion (US$29.97 billion) in 2018, for education.

Pemerintah  berkomitmen menjalankan program wajib belajar 12 Tahun atau Wajar 12 Tahun di tahun 2022. Untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun, pemerintah pusat  telah menganggarkan 20 persen biaya APBN untuk sektor pendidikan, yaitu sekitar Rp 444 triliun di tahun 2018.

Of the amount, 60 percent is transferred to regions. This means that regional governments as education policymakers have the authority to manage the budget they have received.

Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen anggaran ditujukan untuk transfer daerah. Ini artinya pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan mempunyai kewenangan mengatur dana pendidikan yang diterimanya.

“The authority to manage schools lies in regional governments. City and regency administrations are responsible for elementary and middle schools while provincial administrations are responsible for high schools and vocational high schools,” education observer Doni Koesoema said.

“Wewenangan pengelolaan sekolah sebenarnya ada di pemerintah daerah. Untuk sekolah tingkat dasar dan menengah berada di bawah pemerintah kabupaten/ kota, sementara sekolah menengah atas atau pun kejuruan ada di pemerintah provinsi,”  kata pengamat pendidikan Doni Koesoema saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

However, he continued, of Indonesia’s 34 provinces, only eight are effectively implementing their local regulations on the 12-Year Compulsory Education. Strong regulations, such as laws, are necessary to force regional government to implement the program.

Namun, katanya,  dari 34 provinsi di Indonesia, hanya ada 8 provinsi yang efektif menjalankan peraturan daerah terkait wajib belajar 12 tahun. Perlu ada regulasi yang kuat untuk mewajibkan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut.

 

The National Education System Law only regulates nine-year compulsory education. There is no requirement for regional governments to implement 12-Year Compulsory Education.

Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya disebutkan pendidikan dasar hanya sampai 9 tahun, sehingga tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melakukan wajib belajar  12 tahun.

 

Regions’ priority

Sumba Island in East Nusa Tenggara is among several regions that prioritizes its education budget to improve the quality of education. Sumba Education Forum coordinator Umbu Lili Pekuwali, who is also Southwest Sumba deputy regent, said it would be okay for local schools not to have tiled flooring as long as they continuously improve teachers’ and students’ skills.

Prioritas daerah

Salah satu daerah yang memilah dan memilih prioritas penggunaan dananya untuk peningkatan kualitas pendidikan  adalah  Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Koordinator Forum Peduli Pendidikan Sumba yang juga Wakil Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya Umbu Lili Pekuwali mengatakan, pemerintah daerah memilih tidak melapisi lantai sekolah dengan keramik asalkan kompetensi guru terus diasah dan siswa dibuat tertarik untuk terus bersekolah.

“[It is better to have] schools with cement flooring but whose teachers routinely participate in trainings and then implement what they have learnt in the classrooms. The budget can also be used to help teachers provide study materials that make learning fun for students,” Umbu said.

“Lantai sekolah hanya berupa semen, tetapi guru-gurunya rutin ikut pelatihan dan menerapkan hasilnya di kelas. Dana juga dipakai untuk membantu guru membuat media belajar yang menyenangkan bagi siswa,” tutur Umbu.

Southwest Sumba education agency head Yohana Lingu Lango said teachers who did not participate in MGMP and KKG training would have their allowance reduced. It is similar for school supervisors who do not routinely monitor and evaluate the schools in their jurisdictions.

Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Barat Daya Yohana Lingu Lango mengatakan, guru yang mangkir dari jadwal pelatihan di MGMP dan KKG akan dipotong tunjangannya. Demikian pula dengan pengawas sekolah yang tidak rutin melakukan pemantauan dan evaluasi di zona masing-masing.

Jakarta State University professor of education Fasli Jalal said training should increase teachers’ knowledge in their school subjects and improve teachers’ confidence to adjust their teaching style to suit their students. School supervisors and principals should also join in trainings so they understand teachers’ needs in adapting study materials in the curriculum.

Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Fasli Jalal mengatakan, pelatihan selain menambah pengetahuan guru dalam materi pelajaran juga harus mengembangkan rasa percaya diri guru untuk membuat pola sesuai kebutuhan kelasnya. Pengawas dan kepala sekolah juga perlu diikutkan dalam pelatihan agar bisa memberi keleluasaan kepada guru dalam mengadaptasi materi kurikulum.

Fasli said teachers often blindly chased certain targets, such as finishing chapters in the school textbook in line with the schedule determined in the curriculum, without any regard on whether or not their students actually understand the materials. In teaching, teachers often follows technical guidance in the textbooks too rigidly, despite the guidance existing only as an example and should not be blindly adhered to.

Menurutnya,  pola pengajaran guru selama ini bersifat kejar target, yaitu membahas materi pelajaran sesuai jadwal bab yang ditentukan kurikulum. Bukan melihat dan memastikan siswa memahami materi. Dalam penerapan pengajaran materi, guru sangat terpaku kepada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang datang dari buku teks. Padahal, hal tersebut hanya merupakan contoh.

“This rigidness in the way teachers think has killed their own creativity. Consequently, learning techniques become uniform, as if we are mass-producing goods in a factory. In actuality, each region has its own problems and its own ways to solve them,” Fasli said.

“Kekakuan cara berpikir guru membunuh kreativitas. Sistem pembelajaran menjadi seragam, seolah tengah memproduksi barang di pabrik. Setiap wilayah punya permasalahan dan potensi solusi tersendiri yang bisa dimanfaatkan,” ujar Fasli.

(smt)