Merealiasikan Iman dalam Konteks Bencana

Iman yang sempurna adalah iman yang berdampak pada orang lain.

Tidaklah sempurna keimanan seseorang (kaum) jika masih melihat saudaranya dalam penderitaan” (al hadis). Dua bulan terakhir, 4-11 Agustus dan 28 September 2018, kita benar-benar dikejutkan dengan peristiwa alam yang menghantam Indonesia. Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Donggala-Palu (Sulawesi Tengah) menjadi wilayah yang dihantam badai bencana besar dengan menelan korban manusia dan materi. Kita berkabung untuk itu.

Sungguh peristiwa alam yang memilukan kita semua. Sebagai bangsa kita bersama-sama berkehendak membantu mereka agar mengurangi beban penderitaan yang dialami sesama warga bangsa. Bagaimana jika hal tersebut menimpa saudara-saudara kita, bahkan kita sendiri? Mestilah kita juga dalam kesedihan yang mendalam. Kita hidup dalam duka lahir maupun batin.

Terkait bencana alam yang terjadi dalam waktu yang sangat berdekatan merupakan peringatan buat kita agar ”peduli” atas titik-titik bencana yang telah diprediksi secara ilmiah oleh para ahli kebencanaan. Kita harus memiliki sikap apresiatif atas prediksi para ahli tersebut sehingga memungkinkan adanya prevensi yang dapat kita lakukan.

Teologi bencana

Di sanalah kita harus dijauhkan dari sifat dan sikap sombong dengan menuding bahwa bencana alam yang menimpa dilihat sebagai ”kutukan” Tuhan. Akan lebih baik jika kita bersikap rendah hati dan memaknai sebagai bagian dari kehendak alam dan Tuhan dari perspektif teologi. Namun, teologi yang positif tentang bencana, bukan teologi negatif yang cenderung menghukum seseorang dan kelompok atas terjadinya bencana.

Jika selama ini kita tempatkan teologi dalam perspektif keyakinan-kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan, sudah saatnya para teolog merumuskan dan menjadikan bencana ini dalam perspektif teologi sehingga bencana memang akan datang kapan saja dan kepada siapa saja. Kita tidak perlu mengaitkan bencana alam dengan persoalan politik praktis atau politik kepartaian. Apalagi politik pilkada, pileg, dan pilpres.

Bencana adalah rencana Tuhan untuk semua umat manusia di muka bumi. Bencana adalah bagian dari siklus alam yang memang dapat diprediksi secara ilmiah. Bencana tidak terkait dengan peristiwa seseorang yang mengalami ”kegagalan” ataupun kesuksesan, bahkan karena perpindahan partai politik dan pilihan politik apa pun.

Bencana adalah masalah teologi yang sudah tercatat di lauhul mahfudz, di mana yang paling mengerti adalah Tuhan sendiri. Kita manusia hanya dapat memperkirakan berdasarkan fenomena-fenomena alam yang terjadi, bukan fenomena politik.

Di sinilah teologi bencana perlu kita rumuskan dan membumikannya. Kita tidak dapat semena-mena dan ”mentang-mentang” atas bencana yang terjadi kemudian ”menghukum pihak yang terdampak bencana”. Hal semacam ini jelas tidak adil dan tidak tepat karena kita dapat melihat betapa para nabi juga mendapatkan berbagai macam bencana. Oleh sebab itu, yang bisa kita lakukan adalah ”peduli atas korban bencana”.

Iman kemanusiaan

Sebagai sesama warga bangsa, kita harus memiliki kepekaan sosial yang mendalam atas bencana yang menimpa warga Lombok, NTB (Juli-Agustus 2018) dan Donggala-Palu, Sulawesi Tengah, akhir September 2019. Warga di dua tempat ini tengah dalam kecemasan dan penderitaan mendalam sekalipun warga NTB telah berangsur pulih kecemasannya. Sebagian dari mereka baru saja menerima kiriman alam yang Tuhan telah rencanakan jauh sebelum kita hadir di muka bumi.

Tanda-tanda akan terjadinya bencana alam di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, telah lama pula diperkirakan secara ilmiah oleh para ahli kebencanaan. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana alam, baik gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, maupun tsunami.

Para ahli tentu telah bekerja keras memberikan penjelasan dan memberikan alternatif solusinya. Namun, memang semua terletak pada kita apakah bersedia menerima atau menolak apa yang para ahli perkirakan berdasarkan gejala-gejala alam yang ada.

Sebagai bangsa yang beriman pada Tuhan, kita semua tentu percaya bahwa rencana Tuhan tidak akan pernah salah dan memiliki maksud di balik bencana yang ada. Namun, kita semua juga harus sadar bahwa kita tidak bisa dengan tepat ”membaca dan menafsirkan” rencana Tuhan tersebut. Hanya Tuhan yang tahu di balik semua peristiwa yang terjadi menimpa umat manusia.

Oleh sebab itu, bencana telah terjadi dan penderitaan telah menimpa saudara-saudara kita. Sebagai umat beriman, Tuhan melalui para nabi dan rasul telah mengajarkan kita memberikan perhatian kepada mereka yang menderita, baik kelaparan, kekurangan, maupun kesedihan. Kita menjadi umat beriman yang sama sekali tidak bijak jika tidak memberikan perhatian pada mereka semua, apalagi ”mengutuk” dan ”menghukumnya”.

Marilah kita ”bumikan iman kita” sesuai pesan nabi dan rasul Tuhan. Kita tidak akan mendapatkan nikmatnya keimanan tatkala kita tidak dapat meneteskan keimanan kita pada orang lain.

Bahkan, kita akan ”terbunuh” oleh iman yang kita miliki sekalipun kita merasa akan terselamatkan. Kita akan menjadi zalim tatkala melihat penderitaan orang lain, tetapi kita tetap bersenang-senang, mengutuk, menghukum, ataupun menyalahkan dengan pelbagai argumen teologis sekalipun.

Kita ringankan penderitaan saudara-sudara kita di Lombok dan Palu-Donggala secepat mungkin. Akan tetapi, jika kita mengutuk, menyalahkan, dan menghukum, secara tidak langsung kita menambah beban penderitaan mereka yang terkena bencana.

Memanusiakan manusia

Keimanan kita sedang diusik Tuhan. Apakah kita memiliki kepekaan atas sesama umat manusia atau kita menipu diri sendiri dengan balutan keimanan sebab kita masih alergi melihat bahwa bencana adalah bagian dari rencana Tuhan untuk seluruh umat manusia? Di sinilah keimanan harus memanusiakan manusia.

Jika kita menyaksikan ustaz, ustazah, penceramah, politisi, pendeta, atau tokoh masyarakat memberikan komentar atau mengirimkan berita-berita yang bernada menyudutkan masyarakat yang terkena bencana, sebenarnya kita tengah menyaksikan dengan gamblang betapa kepekaan iman mereka sangat rendah.

Orang tersebut seakan yang paling berhak mendapatkan karunia dan berkah Tuhan, sementara orang lain yang berhak mendapatkan kutukan.

Keimanan semacam itu juga sebenarnya menunjukkan betapa rendahnya ketulusan dalam beriman kepada Tuhan karena perbedaan pilihan politik, partai, bahkan agama sekalipun.

Kita harus segera beranjak dari keimanan yang sektarian dan chauvinisme semacam itu sehingga masa depan umat beragama dan bangsa ini akan lebih beradab ketimbang biadab. Kita berdoa dan berduka untuk Lombok dan Palu-Donggala. Inilah salah satu bentuk keimanan terendah, tetapi lebih baik ketimbang mengutuk dan menghukumnya

Referensi:  Zuly Qodir, Kompas,  6 Oktober 2018

Zuly Qodir adalah Sosiolog Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta; Peneliti Senior Maarif Institute