Main Game Bukanlah Sekedar “Permainan”

“Bermainlah dalam permainan tetapi jangan main-main…”. Begitulah cuplikan rumusan Prof. Dr. N. Driyarkara dalam menjelaskan hakikat permainan (Karya Lengkap Driyarkara, 2006). Pernyataan ini menjadi nyata ketika para gamers (sebutan untuk pemain gim) mulai menunjukkan kemampuannya dalam berbagai kompetisi. Kini, dunia gim sudah saatnya menjadi perhatian dan mendapat kepercayaan di kalangan masyarakat.

Dalam pentas Asian Games 2018 yang lalu, enam permainan gim dari E-Sport menjadi salah satu cabang yang dipertandingkan. Tim Indonesia pun mampu duduk di urutan kedua dengan raihan 1 medali emas dan 1 medali perak. Meskipun hanya berstatus ekshibisi, ajang ini mampu mengundang antusias penonton yang sebagian besar dari kalangan anak muda.

Raihan medali emas untuk Indonesia dicapai oleh Ridel Yesaya Sumarandak yang bertanding di cabang gim Clash Royale pada 27 Agustus 2018 kemarin. Pemuda Sulawesi Utara yang berusia 16 tahun ini sebelumnya mengikuti seleksi pemain dari berbagai kota yang diadakan oleh Indonesia e-Sport Association (IeSPA). Seperti yang dimuat di laman esport.id, setelah lolos kualifikasi, ia mengikuti persiapan Asian Games 2018 bersama tim dari IeSPA.

Begitu pula yang dialami oleh Hendry Koentarto Handisurya, peraih medali perak untuk cabang gim Hearthstone. Prestasinya ini bukanlah hasil yang instan karena ia telah bermain sejak 2005 silam dan menghabiskan waktu rata-rata 6-8 jam setiap harinya. Sebelum mewakili tim E-Sport Indonesia, pemuda kelahiran 19 Mei 1984 ini sudah dulu bergabung dalam Komunitas Hearthstone Indonesia (HSID) dan Blizzard Gamers Indonesia (BGI).

Capaian kedua pemuda itu seakan menyuarakan eksistensi para pemain gim di kancah internasional. Apalagi saat ini, pertandingan gim tingkat daerah maupun nasional sering ditemui di berbagai kesempatan. Peluang para pemain gim untuk menekuni hobi hingga menjadi profesi pun semakin terbuka lebar.

Dalam lingkup yang lebih kecil lagi, dengan mudah dapat ditemukan sekumpulan anak muda bermain gim melalui gawai mereka di area umum. Perkembangan teknologi dalam gim mengubah perilaku para pemainnya tersebut. Gim tidak lagi identik dengan layar, kabel dan konsol, melainkan sudah dapat diakses dengan mudah melalui gawai. Lantas, bagaimana masyarakat memandang perilaku para pemain gim ini?

Ketika melihat para pemain gim gawai, masyarakat sudah mulai memandangnya sebagai suatu aktivitas yang wajar meskipun masih lebih banyak yang memandang negatif. Hasil jajak pendapat Kompas pada 29-30 Agustus 2018 khusus untuk responden kelahiran antara tahun 1980 hingga tahun 2000 atau biasa disebut generasi milenial menunjukkan gambaran ini. Selisih persentase responden tidak jauh berbeda antara yang memberi kesan negatif (37 persen) dan wajar saja (36,5 persen). Sementara itu, ada 21,9 persen responden milenial yang tidak peduli ketika melihat para pemain gim gawai.

Hasil yang mirip juga terlihat dari responden non-milenial. Kendati sebanyak 42,9 responden memberi kesan negatif, namun 34,3 persen responden lainnya memberikan kesan wajar-wajar saja. Untuk responden non-milenial yang tidak peduli, kurang lebih sama seperti responden milenial, berada di angka 20 persen.

Meski demikian jika dilihat dari nilai urgensi (penting atau tidak penting) bermain gim di waktu luang, tampak kelompok responden yang menilai “tidak penting” lebih banyak memiliki kesan negatif terhadap anak muda bermain gim dibandingkan responden yang menilai “penting”. Alasannya, gim hanya membuang-buang waktu, para pemainnya tidak memiliki pekerjaan, ataupun tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Bermain Untuk Berteman

Di tengah berbagai persepsi publik atas permainan dan pemain gim perlu juga melihat hal ini dari sisi pemain gim. Sejenak melihat ke belakang, pada 1943 dalam A Theory of Human Motivation, Abraham Maslow memaparkan lima kebutuhan dasar manusia. Di antara kelimanya, kebutuhan untuk berelasi, mendapatkan intimitas, persaudaraan dan pertemanan berada di urutan ketiga. Salah satu alasan yang sering dilontarkan oleh para pemain gim ini adalah agar bisa bermain dengan temannya atau memperluas pertemanan. Bagi pemain gim, bermain gim yang sama menjadi sarana bagi mereka untuk mencapai tahap ketiga dari teori Maslow tadi.

Indikasi bahwa salah satu alasan bermain demi pertemanan dapat dilihat dari lokasi para gamers sering terlihat berkumpul. Hampir setengah responden Jajak Pendapat sering melihat para pemain gim gawai di area umum seperti taman, kafe, ataupun rumah makan. Sementara itu, area atau wilayah sekitar tempat tinggal menjadi lokasi kedua terbanyak yang disebutkan responden. Sisanya, responden melihat mereka bermain saat berada di kendaraan umum, lingkungan kerja atau sekolah, dan lainnya.

Pengalaman responden tersebut menunjukkan bahwa bermain gim di area publik sudah menjadi fenomena yang menyentuh ranah sosial. Selain interaksi, baik langsung maupun tidak langsung, yang terjadi antara pemain gim dengan masyarakat yang melihat mereka, ruang sosial juga terbentuk dalam interaksi antarsesama pemain gim baik secara dalam ruang nyata maupun virtual.

Alasan pertemanan ini nampaknya memang sudah diperhatikan dari para pengembang gim gawai. Empat dari lima aplikasi gim terlaris di kanal Google Playstore merupakan gim yang mempertemukan di antara sesama pemain. Lebih jauh lagi, antarpemain ini bisa bergabung dalam tim yang sama dan melawan kelompok pemain lainnya. Bahkan, mereka bisa saling berkomunikasi melalui fitur online chat dalam gim tersebut.

Dengan begitu, gim melibatkan aspek sosial dari tiap individu pemain. Kecanggihan gim telah menjembatani para pemain untuk berinteraksi dengan pemain lain. Dari sinilah kemudian terbentuk berbagai komunitas pemain gim yang bertumbuh segaris dengan variasi gim yang ada. Dari komunitas inilah, para pemain mendapatkan interaksi sosial pertemanan yang baru hingga berbagi ilmu dan strategi serta berkolaborasi dalam mengembangkannya.

Salah satu komunitas pemain gim Indonesia yang masih berafiliasi dengan pengembang gim internasional ialah IeSPA. Organisasi yang berada di bawah Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) ini diprakasai oleh komunitas gim dari beberapa kalangan, baik dari pengembang gim, forum gim, dan beberapa kelompok penggemar gim di Indonesia. Kini, IeSPA tersebar di 12 provinsi di Indonesia lengkap dengan badan kepengurusan yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.

Perlu diingat, kedua atlet E-Sport Indonesia yang meraih medali pada Asian Games 2018 lalu juga mengawali karirnya dengan bergabung ke dalam komunitas gim. Dari sanalah mereka mengikuti berbagai kejuaraan dan seleksi hingga akhirnya bergabung dalam IeSPA dan berlaga di pentas se-Asia Agustus kemarin.

Pengembang Gim Butuh Dukungan

Selain para pemain gim, aktor lain yang terlibat dalam fenomena ini ialah para pengembang gim. Di ranah lokal, para pengembang gim lokal senantiasa menciptakan berbagai gim baru sembari mengasah kemampuan agar dapat bersaing dengan para pengembang gim luar negeri. Dari segi keuntungan bisnis, tentu dunia gim memiliki peluang tersendiri yang tidak kalah menggiurkan.

Peluang bisnis gim dapat dilihat dari dua latar. Pertama, data dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) melaporkan bahwa dari kompetisi antarpengembang gim tahun lalu menghasilkan sekitar Rp 12,3 triliun, meskipun hanya 2 persen dari nilai tersebut yang masuk ke para pengembang gim Indonesia. Kedua, riset Goldman Sachs memprediksi pada tahun 2025 pasar realitas virtual dan realitas tertambahkan akan tumbuh menjadi 80 miliar dollar AS dibandingkan saat ini (Kompas, 24 April 2018).

Terkait para pengembang lokal, salah satu halangan besar ialah dukungan dari segi finansial. Dalam wawancara dengan Kompas (3/9/2018), Edwin Viriya, pemilik sekaligus pendiri Own Games mengatakan bahwa AGI dan BEKRAF sudah berkontribusi cukup banyak terkait dana pengembangan gim. “Akan tetapi, masih butuh dana yang lebih besar lagi untuk pemasaran secara masif karena gim-gim luar negeri kini sudah memasang iklan billboard, iklan di televisi, dan juga mengadakan event-event secara offline di sejumlah mal besar di kota-kota besar Indonesia”, tambah Eldwin yang gim Tahu Bulat miliknya sempat meledak di pasar gim lokal.

Dukungan masyarakat juga tak kalah penting dalam dunia gim. Eldwin meyakini, bila masyakarat sudah menaruh kepercayaan pada dunia gim, maka para pengembang gim pun dapat berkreasi lebih maksimal lagi. Berkaca pada hasil jajak pendapat di atas, kepercayaan pada para pemain gim pun sudah nampak bertumbuh di tengah publik. Berbagai potensi pengembangan e-sport perlu dipupuk oleh semua pihak. Apalagi, gim menjadi salah satu olahraga masa depan yang lekat dengan kelompok milenial dan generasi setelahnya.

Referensi: SUGIHANDARI, Kompas,  5 Oktober 2018